May 17, 2010

kepala yang penuh

Ribuan pemikiran dan ide berkecamuk di kepala seperti badai yang saling bertabrakan dan bersinggungan bahkan berbaur menjadi satu. Rasanya penuh sekali, seperti adonan kue berkonsentrat tinggi yang dicampur dalam mixer otak ini. Seperti ada ribuan vanya yang berbicara bersamaan meneriakkan ribuan topik yang berbeda-beda. Sungguh pusing sekali ketika ada begitu banyak hal yang berkecamuk di kepala ini, terus berdengung berteriak berceloteh dengan nada yang berbeda emosi.

Lucu sekali kenapa selama ini bisa mencap diri sendiri sebagai seorang introvert jika ternyata pikiran ini menyimpan jutaan pemikiran dan ide setiap hari yang paling tidak sepertiganya harus dikeluarkan ke orang lain yang mau mendengarkan demi kepuasan batin semata. Lucu sekali kenapa bisa merasa diri anti-sosial jika sekarang setiap hari paling tidak harus berbagi tegur dan sapa dengan teman yang tersebar dimanapun, puji Tuhan terhadap teknologi social networking yang sangat memudahkan manusia untuk berkomunikasi walau terkadang berbicara dalam dunia itu terasa tidak nyata saja karena kita tidak bisa membaca ekspresi wajah mereka.

Ternyata saya ini cuma wanita biasa, yang mau didengarkan, yang mengeluarkan kata-kata sekitar tiga kali lipat pria normal, mungkin lebih ketika penyakit bawel sedang menyerang raga ini. Ternyata saya ini cuma wanita biasa yang senang berbicara, membagi pemikiran, kesenangan, kesedihan. Berbicara itu menyenangkan bahkan ketika topiknya hanyalah sebuah cerita konyol saja atau bahkan ketika ceritanya merupakan cerita nestapa sekalipun. Sungguh berbicara itu menyenangkan, bahkan ketika kita sadar bahwa pasangan bicara kita sudah muak mendengarkan celotehan tak jelas. Egois memang, manusia sepertinya terlalu egois memaksa ambang kesabaran orang lain untuk mendengarkan tumpahan emosi yang bahkan terkadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan lawan bicara kita. Kejam dan tega sekali tetapi itulah manusia, selalu ingin didengarkan, terkadang tidak mau mendengarkan.

Dengan berbicara kita berbagi hidup dengan orang lain, walau apa yang dikatakan pepatah bahwa lidah tak bertulang sehingga kata-kata bisa jadi hanyalah kekosongan belaka. Tetap saja, walau yang dibagi itu adalah kebohongan tetapi tetap saja itu adalah hidup, karena hidup dalam kebohongan pun juga bisa dikatakan hidup walau pondasinya adalah pasir yang bisa runtuh kapanpun. Berbagi isi hati adalah hidup karena itu adalah proses pemahaman, pembagian zat pikiran yang tak berwujud kepada orang lain, semacam proses yang harus dilalui manusia untuk mendekatkan kepada orang lain. Berbagi hidup bukan hanya dalam proses bernafas atau proses perkembangbiakan saja. Pertukaran pikiran sama pentingnya dalam kehidupan yang singkat ini.

Dan sungguh, saat ini di kepala ini berkecamuk ribuan topik yang entah harus dituangkan kemana dan dalam wujud apa, ingin rasanya berteriak mengoceh tak jelas atau punya puluhan tangan untuk menuangkan ide tersebut dalam wujud karya apapun. Menyebalkan sekali ketika suatu keinginan dihadapkan pada benturan keterbatasan. Seperti hidup yang hanya setengah saja nikmatnya. Seperti melakukan pertunjukan tanpa satu penontonpun. Rasanya tidak menyenangkan memiliki ribuan pemikiran dalam kepala jika tidak bisa disalurkan kemana-mana.

2 comments:

amadea said...

haha saya mengerti rasanya.. mari mengobrol! :D

Vanya Alessandra said...

hayuk mariii

Post a Comment