April 9, 2011

Balada anak kuliahan

Visualisasi alasan mengapa manusia hanya bisa berkonsetrasi selama maksimal 30 menit.
Waktu dan Tempat: Kelas, kapanpun, dimanapun
* Semua tidak melibatkan suara selain suara hati

Slide 1: Oke, kali ini harus ngedengerin donggg penjelasan si bapak.
Slide 2: Semangat nih jadinya.. *buka buku text, buka power point di computer, liat slide show di LCD*
Slide 3-5: La la la.. *mulai menstabilo text book*
Slide 6-8: *mulai nulis di notes apa aja yang diomongin sama si bapak*
Slide 9: Hoahm, ngantuk yaaa.. Buka wi-fi bentar ahhh… *mulai mengutak-ngatik jaringan wifi*
Slide 10-12: Cek facebook bentar ahhh… *membuka browser* *login dan password*
Slide 13: Cih lelet internetnya! *menutup browser*
Slide 14-16: Buka twitter aja dehhh… *membuka browser lagi* *login dan password*
Slide 17: Apa-apaan sih internetnya!! *menutup browser lagi*
Slide 18: Ini pasti konspirasi biar gue belajar yaaa?! *kesal*
Slide 19: Bosannn ngantukkk *muka bĂȘte sambil memutar-mutar dudukan kursi pelan-pelan*
Slide 20: Dohhh, masih ada berapa slide sih??? *cek power point* *slide 20 of 48*
Slide selanjutnya: *pingsan*

April 8, 2011

Sang Pengajar

Tadi pagi sempat hadir dalam acara peluncuran buku oleh seorang dosen yang juga adalah arsitek terkenal Indonesia yang sudah sangat lama berkecimpung dalam dunianya di Indonesia. Kalau anda bertanya pada orang yang belajar mengenai arsitektur, apalagi golongan yang lebih tua dari usia saya, saya rasa mereka pasti pernah mendengar namanya. Saya sempat diajar oleh dia pada saat kuliah beberapa tahun yang lalu. Saya juga pernah menjadi asistennya di kelas ketika saya sudah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu juga. Namanya adalah Pak Bianpoen, yang gelarnya mungkin segunung, tetapi dia selalu menulis namanya dengan singkat. ‘Bianpoen.’ Judul bukunya adalah ‘Untuk Apa? Untuk Siapa? Rangkaian Pemikiran Lingkungan Berkelanjutan.’

Memang sejak saya pertama diajar oleh beliau, yang selalu ditekankan oleh sang maestro adalah Pembangunan Berkelanjutan, yang ternyata sudah disuarakan oleh beliau sejak jaman beliau mulai berpikir kritis di masa mudanya. Tetapi topik dalam bukunya bukan apa yang akan saya bicarakan dalam tulisan singkat ini. Yang akan saya bicarakan adalah sosok penulisnya. Seorang unik yang mungkin bisa dianggap aneh dalam dunia absurd ini. Konsisten dan terus berlangsung, begitu sikap beliau dalam menekankan pemikirannya, berpikir, dan lalu melakukannya. Tentu pemikiran beliau bukan hanya sekedar prinsip kosong belaka. Beliau punya alasan, banyak alasan, dan beliau punya pengetahuan, banyak pengetahuan.

Melihat acara peluncuran buku beliau, dimana beliau duduk ditengah dikelilingi oleh rekan terdekatnya, dan melihat kesekeliling ruangan dimana terdapat beberapa arsitek kenamaan Indonesia yang turut datang untuk beramah-tamah atau memberi hormat atau bahkan mengkritik. Sesosok tubuh yang sudah berumur yang dengan pikirannya berhasil membuat orang disekitarnya tergerak dan menghormatinya. Saya tahu kehebatan dia sepanjang hidupnya sekilas, tetapi tidak pernah tahu mengenai sisi hidupnya yang lain, selain sebagai pengajar tegas yang meminta kita untuk berpikir lebih kritis. Tidak pernah saya bayangkan bahwa dia, sosok yang rela melepas jabatan, pekerjaan, dan uang tentunya, hanya demi mempertahankan prinsipnya.

Saya tidak tahu apakah pemikiran beliau salah, atau benar. Saya tidak tahu berapa banyak orang yang sudah dihadang oleh beliau selama masa mudanya untuk menekankan prinsipnya, atau berapa banyak orang yang dilewatkan oleh beliau. Saya tidak tahu. Yang saya tahu hanyalah sosok orang tua yang luar biasa pintar, yang selalu membuat saya kagum dengan pemikirannya, dan kagum dengan kekuatannya.

Bukan berarti dia besar dan kokoh, justru dia tampak kecil dan ringkih, usianya sudah 81 tahun. Dia masih menggunakan tas bututnya untuk membawa barangnya. Dia selalu menggunakan berkas OHP-nya untuk memberikan pengajaran di kelas. Dia selalu menggunakan sepatu tuanya. Dia selalu tersenyum ramah ketika disapa dimana saja walau tidak pernah berhenti untuk berbasa-basi. Dia selalu rapi dan tegak. Dia selalu makan sendirian, di mal atau di kantin. Makanan yang dimakannya pun ajaib, resto fast food yang seharusnya sudah tidak dimakan oleh orang seusianya. Dia terkadang kembali ke kantor setelah makan siang dengan membawa 2-3 kantong belanjaan supermarket. Dan dia menyetir sendiri. Sampai beberapa tahun yang lalu, dia katanya masih membawa mobil tuanya yang sudah sangat antik, walau sekarang sudah diganti dengan mobil yang lebih modern. Dia masih mengajar selama 3 hari dalam seminggu di kantor saya.

Dia selalu disana, dengan pemikirannya yang luar biasa yang ditelurkan dalam badannya yang kecil. Dengan senyumnya yang ramah tanpa kata-kata. Suatu sosok luar biasa yang mau tidak mau membuat saya hormat padanya dan merasa diri lebih kecil dari ujung kukunya sekalipun. Saya berharap dia bisa hidup selamanya, tetap sehat dan tegas dalam mengeluarkan ajarannya, pikirannya, dan prinsip hidupnya.

Salut, Pak Bianpoen, hormat saya besertamu.

April 1, 2011

Space, dalam perspektif saya

Sebagai manusia yang terlibat dalam Jurusan Desain Interior, yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah suatu kata yang sering disebut space. Sebelumnya saya meminta ijin untuk menggunakan ejaan dalam bahasa Inggris, karena bahasa Indonesia, dibalik semua kehebatannya, terkadang masih terbatas untuk digunakan ketika membahas suatu pengertian tertentu. Sebenarnya apa sih space itu? Kenapa space bisa menimbulkan keributan yang berkepanjangan? Saya tidak akan membicarakan space dalam perspektif orang lain yang pernah membahas mengenai space, yang banyaknya tak terhingga. Yang akan saya bicarakan itu murni dari pendapat saya (yang mungkin mirip dengan pendapat orang lain, dan mungkin juga berbeda dari pendapat orang lain).

Space, salah satunya, bisa diartikan dengan dimensi ruang. Mudahnya, anda membuat garis pembatas di suatu area, maka itu sudah menandai space anda. Itu mudahnya. Sedikit diatas mudah, anda membuat teritori milik anda, dan itulah space anda. Cara susahnya, secara tak langsung pancaran kepribadian anda akan membentuk space milik anda.

Yang pertama, membuat pembatas. Kasarnya, misalnya ruang 3x3x3, diberi lantai, dinding, dan langit-langit. Lalu anda duduk di tengahnya. Batas yang ada disekeliling anda adalah space anda. Tapi kok space anda kosong sekali ya? Kalau kosong, bagaimana anda bisa mengatakan bahwa itu adalah space anda? Bisa saja saya datang dan duduk disana ketika anda tak ada. Dan saya bisa mengakui kalau itu space saya. Lalu ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada saya, maka kita bisa berdebat selamanya tanpa menemukan jawaban mengenai space siapakah itu.

Maka muncul makna kedua, membuat teritori. Anda meletakkan barang-barang milik anda didalam dinding 3x3x3 itu. Anda meletakkan sofa untuk duduk, rak buku ditepinya, dan gorden di jendela untuk menghalangi cahaya matahari masuk ketika anda membaca nanti. Tapi lalu apa yang akan terjadi ketika anda pergi dari area itu. Misal anda keluar dari ruangan tersebut selama sejenak dan membiarkan ruangan itu kosong. Misal anda lelah membaca dan pergi ke kamar sebelah untuk tidur. Bisa saja orang seperti saya, lagi-lagi, datang dan masuk ke ruangan itu lalu mengakui itu menjadi milik saya. Dan kejadian sama akan berulang, anda bingung, saya juga bingung, dan kita sama-sama bingung. Space siapakah itu? Apakah space itu?

Jadi akhirnya muncul makna ketiga, membentuk kepribadian. Atau ciri khas. Atau jiwa. Apapun sebutannya. Pemaknaan yang satu ini sifatnya lebih abstrak, tapi sebenarnya mudah. Pembentukan kepribadian ini sifatnya secara disengaja maupun tak disengaja. Contoh mudahnya adalah cerita yang saya dapat dari presentasi mahasiswa Kajian Teori Desain pada semester lalu, yaitu cerita tentang seorang anak yang takut berada di ruangan gelap sendirian sehingga dia bersiul untuk menenangkan pikirannya. Area dalam ‘siulan’ anak tersebut bisa dibilang sebuah pembentuk space milik si anak.

Jiwa, atau kepribadian, adalah hal abstrak yang susah dijelaskan dan tentu tidak bisa dilihat, tetapi keberadaannya mutlak. Contoh mudahnya dalam kehidupan kita, misalnya meja kita di kantor akan terasa berbeda dengan meja rekan kerja kita. Posisi benda di meja dan perbedaan ragam benda saja sudah bisa memberikan karakter yang berbeda. Orang perfeksionis akan memastikan mejanya selalu rapi tak bercela sehingga ketika gelas di mejanya bergeser sedikit saja maka dia akan tahu. Orang sibuk akan memenuhi mejanya dengan tumpukan kertas pekerjaan yang harus diselesaikan dan ajaibnya bisa bekerja dengan baik di area yang tampaknya tak karu-karuan bentuknya. Coba jika meja kedua orang tersebut ditukar, pasti keduanya akan merasa tak nyaman bekerja di meja yang bukan miliknya.

Contoh lebih rumitnya adalah seorang anak perempuan kecil yang ayahnya baru menikah lagi menolak keras ketika ibu tirinya mendekor ulang kamar tidur bekas tempat mendiang ibu kandungnya di bulan ketiga pernikahan ayahnya. Padahal sebelumnya anak tersebut tidak menunjukan penolakan ketika ayahnya mau menikah lagi dan kondisi rumah setelah menikah pun baik-baik saja. Alasannya tampak sepele, tapi mungkin berarti segalanya bagi si anak. Alasannya adalah ketika dekorasi kamar berubah, maka bisa jadi warna yang mengingatkan dia kepada ibunya menjadi hilang. Wangi parfum ibunya yang tersisa di kamar mulai menghilang, digantikan oleh wangi parfum ibu tirinya. Mulai memudarnya hal-hal yang menandakan kenangan antara dia dan ibunya membuat si anak ketakutan sehingga ia mengeluarkan penolakan tersebut. Posisi kenangan antara ibu kandung dan si anak menjadi lenyap, membuat dia sulit untuk merasakan keberadaan ibunya dan ketidakadaan ibunya menjadi semakin diingatkan secara jelas.

Sekilas mungkin terasa seperti ranah psikologis sekali, dan mungkin memang demikian. Itu sepertinya salah satu hal yang membedakan area arsitektur dan interior. Interior jauh lebih personal, pendekatannya pribadi, karena interior bukan hanya harus enak dilihat tetapi harus enak untuk digauli. Toh kita akan hidup dan berinteraksi didalamnya.

Akhir kata, pernah saya membaca kalimat dalam sebuah novel, bahwa rumah yang ideal bukan rumah yang keindahannya tampak seperti rumah-rumah dalam majalah tetapi terlalu dingin untuk ditempati. Rumah yang ideal adalah rumah yang hangat dengan dapur yang berantakan dengan adegan ibu memasak bersama anaknya serta ruang keluarga yang berisi mainan anak-anak bergelimangan di sekitar sofa. Itulah rumah yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itulah ideal. Itulah space. Sama-sama ruang keluarga tetapi yang satu digauli dengan baik dan yang satu hanyalah keindahan tanpa nyawa.

Tetapi lagi-lagi itu hanyalah pendapat saya. Manusia boleh berpendapat selama argumennya jelas, bukan? Apa serunya hidup jika semua orang memiliki pendapat sama.

Prayer

God,

I try hard enough to be good.
And if you see that that’s not enough,
I’ll try harder and harder.

You may test me, tempt me, and try me,
Slap me, step on my foot, bring me to my knees,
You may let me cry, scream, afraid,
Just remind me that You have some reasons to make me this way.

Because I know, You never leave me alone;
You will give me sweet and warm,
You will fulfill my need,
You will hold me when I’m fall,
You will lead me when I’m blind,
You will show me the way when I’m lost,
You will talk to me when I’m deft,
You will comfort me.

Despite all the hardness of life,
Despite all the tears and hurt,
I do know that you will make me smile and laugh too.

I’m pretty sure that You’re planning something wonderful for me,
After all, there is always a rainbow after the rain.

So I’ll try my best not to complaining.
I’ll try to live accordingly to You.
And I believe in You, fully.