April 8, 2011

Sang Pengajar

Tadi pagi sempat hadir dalam acara peluncuran buku oleh seorang dosen yang juga adalah arsitek terkenal Indonesia yang sudah sangat lama berkecimpung dalam dunianya di Indonesia. Kalau anda bertanya pada orang yang belajar mengenai arsitektur, apalagi golongan yang lebih tua dari usia saya, saya rasa mereka pasti pernah mendengar namanya. Saya sempat diajar oleh dia pada saat kuliah beberapa tahun yang lalu. Saya juga pernah menjadi asistennya di kelas ketika saya sudah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu juga. Namanya adalah Pak Bianpoen, yang gelarnya mungkin segunung, tetapi dia selalu menulis namanya dengan singkat. ‘Bianpoen.’ Judul bukunya adalah ‘Untuk Apa? Untuk Siapa? Rangkaian Pemikiran Lingkungan Berkelanjutan.’

Memang sejak saya pertama diajar oleh beliau, yang selalu ditekankan oleh sang maestro adalah Pembangunan Berkelanjutan, yang ternyata sudah disuarakan oleh beliau sejak jaman beliau mulai berpikir kritis di masa mudanya. Tetapi topik dalam bukunya bukan apa yang akan saya bicarakan dalam tulisan singkat ini. Yang akan saya bicarakan adalah sosok penulisnya. Seorang unik yang mungkin bisa dianggap aneh dalam dunia absurd ini. Konsisten dan terus berlangsung, begitu sikap beliau dalam menekankan pemikirannya, berpikir, dan lalu melakukannya. Tentu pemikiran beliau bukan hanya sekedar prinsip kosong belaka. Beliau punya alasan, banyak alasan, dan beliau punya pengetahuan, banyak pengetahuan.

Melihat acara peluncuran buku beliau, dimana beliau duduk ditengah dikelilingi oleh rekan terdekatnya, dan melihat kesekeliling ruangan dimana terdapat beberapa arsitek kenamaan Indonesia yang turut datang untuk beramah-tamah atau memberi hormat atau bahkan mengkritik. Sesosok tubuh yang sudah berumur yang dengan pikirannya berhasil membuat orang disekitarnya tergerak dan menghormatinya. Saya tahu kehebatan dia sepanjang hidupnya sekilas, tetapi tidak pernah tahu mengenai sisi hidupnya yang lain, selain sebagai pengajar tegas yang meminta kita untuk berpikir lebih kritis. Tidak pernah saya bayangkan bahwa dia, sosok yang rela melepas jabatan, pekerjaan, dan uang tentunya, hanya demi mempertahankan prinsipnya.

Saya tidak tahu apakah pemikiran beliau salah, atau benar. Saya tidak tahu berapa banyak orang yang sudah dihadang oleh beliau selama masa mudanya untuk menekankan prinsipnya, atau berapa banyak orang yang dilewatkan oleh beliau. Saya tidak tahu. Yang saya tahu hanyalah sosok orang tua yang luar biasa pintar, yang selalu membuat saya kagum dengan pemikirannya, dan kagum dengan kekuatannya.

Bukan berarti dia besar dan kokoh, justru dia tampak kecil dan ringkih, usianya sudah 81 tahun. Dia masih menggunakan tas bututnya untuk membawa barangnya. Dia selalu menggunakan berkas OHP-nya untuk memberikan pengajaran di kelas. Dia selalu menggunakan sepatu tuanya. Dia selalu tersenyum ramah ketika disapa dimana saja walau tidak pernah berhenti untuk berbasa-basi. Dia selalu rapi dan tegak. Dia selalu makan sendirian, di mal atau di kantin. Makanan yang dimakannya pun ajaib, resto fast food yang seharusnya sudah tidak dimakan oleh orang seusianya. Dia terkadang kembali ke kantor setelah makan siang dengan membawa 2-3 kantong belanjaan supermarket. Dan dia menyetir sendiri. Sampai beberapa tahun yang lalu, dia katanya masih membawa mobil tuanya yang sudah sangat antik, walau sekarang sudah diganti dengan mobil yang lebih modern. Dia masih mengajar selama 3 hari dalam seminggu di kantor saya.

Dia selalu disana, dengan pemikirannya yang luar biasa yang ditelurkan dalam badannya yang kecil. Dengan senyumnya yang ramah tanpa kata-kata. Suatu sosok luar biasa yang mau tidak mau membuat saya hormat padanya dan merasa diri lebih kecil dari ujung kukunya sekalipun. Saya berharap dia bisa hidup selamanya, tetap sehat dan tegas dalam mengeluarkan ajarannya, pikirannya, dan prinsip hidupnya.

Salut, Pak Bianpoen, hormat saya besertamu.

1 comments:

Unknown said...

hebat.. ;)

Post a Comment