May 31, 2010

Kalau diibaratkan,

saat ini gue itu kertas putih kosong selebar A3 dengan kop dibawahnya dan mata rotring berjarak 2 cm dari permukaan kertas yang stuck tanpa tau denah apa yang harus digambar diatasnya. Cuma lembaran kosong aja, lembaran kosong yang menunggu untuk diisi, akan tetapi gak tau harus mulai titik pertama dimana. Pikiran gue mendadak seperti vacuum of power saja, jadi kosong. Kosong dari prasangka, kosong dari analisa, kosong dari jarak dan waktu. Kosong dari apa, kapan, dimana, mengapa, siapa, dan bagaimana. Semuanya kosong, semua terasa dekat padahal jauh, semua terasa jauh padahal dekat. Aneh, rasanya gamang sekali, seperti mengambang di lautan awan, ringan-ringan gak jelas.

Yang artinya memang sisi melankolis sedang menyerang di titik ini, di saat ini, present time yang akan menjadi past time. Entah kenapa juga mendadak si melankolis muncul menginvasi hasrat dan pikiran gue seenaknya, gak jelas juntrungannya dan gak tau kapan akan pergi. Bisa-bisanya kemarin gue ngabisin tiga hari long wiken cuma dengan bengong tidur-tiduran sepanjang waktu sambil ngikutin kemana mood ipod gue membawa, yang sialnya ternyata dia juga lagi mellow. Jadilah gue dan ipod bermellow ria berdua dengan mesranya, menghabiskan waktu bersama dengan manisnya. Tapi untungnya energi capek gue selama kerja juga ilang berkat lazy time selama tiga hari itu. Ada gunanya juga masa mellow ini.

Gawat sekali kalau sedang kumat begini, kepala rasanya seperti perahu yang gak punya tambatan, ngalir aja gitu, gak bisa dipake buat mikir apa-apa. Dan kalo lagi begini, gue cuma bisa nunggu ampe masa ini lewat aja deh. Sepertinya perlu mencari teman mellow untuk menghabiskan malam berdua mengobrol mellow sambil menghabiskan sepiring marshmallow dan coklat tanpa peduli berat badan untuk mempercepat proses mellow ini. Sepertinya butuh adik gue segera buat ngelakuin itu. Sayang adik gue tercinta lagi terserang gak enak badan kemarin. Adik cepatlah sembuh, aku membutuhkanmu nih untuk bermellow ria semalam suntuk.

Aduh kenapa sih, vanya, ayo semangat dong ah! Jangan manja deh!

May 24, 2010

bye bye friendly, welcome vicious

Mengobrol dengan berbagai macam orang memang menyenangkan, akan tetapi energi yang mereka lontarkan dalam percakapan juga ikut menular ke diri. Ketika obrolannya ringan dan menyenangkan, maka feelingnya ikut ringan dan menyenangkan. Jika obrolannya berat dan menguras emosi, maka feelingnya ikut berat dan sarat emosi. Belum lagi jenis orang yang menjadi lawan bicara. Kalau orangnya emang cocok ngobrolnya, ikut senang berbicara dengan orang itu. Tapi kalau orangnya menyebalkan, rasanya males deh. Yang menyebalkan itu kalau mood gue sedang swing ke arah antisocial, rasanya malas bicara, malas basa-basi, malas beramah-tamah, tapi kalau dicuekin nanti gue dibilang sombong, marah, dingin, apapun. Padahal simple aja, emang gue lagi males ngomong. Kan ada tahap manusia malas bicara kan? Kalau posisinya dibalik, lo yang males bicara dan gue ngajak ngomong obrolan yang menurut lo menyebalkan juga pasti lo akan gak suka kan.

Tapi itulah susahnya, apalagi kalau memakai perangkat social, si blackberry mungil yang memungkinkan segala percakapan social-networking dari manapun dimanapun kita berada. Entah kenapa belakangan orang jarang sekali mempedulikan tanda ‘busy’ di status messenger jika mereka mengetahui bahwa kita memakai perangkat blackberry itu. Emang lebih baik di-offline saja sekalian kalau mau tidak terganggu sama sekali. Tapi tetap saja hal itu gak berlaku di bbm, yang gak bisa di-offline kecuali kehabisan pulsa. Belum lagi kebiasaan beberapa orang menge-buzz atau menge-ping kalau message-nya belum dibalas padahal gak penting sama sekali. Bahkan mode silent saja menyerah karena si-buzz dan si-ping pasti membuat hp bergetar. Kenapa gak tunggu dibales aja sih, siapa tau si pemilik sedang sibuk apa gitu.

Tapi yang paling menyebalkan gak lain dan gak bukan adalah pria-pria iseng pencari mangsa, entah tujuannya serius (walau diragukan sekali keseriusan tersebut), hanya murni iseng saja, atau memang hanya mau berteman. Mungkin itu alas an banyak orang memasang status palsu sepertinya, karena entah kenapa kata single selalu saja mengundang kerumunan yang mengganggu. Dan mengganggu itu dalam arti sudah mengganggu batas personal kehidupan seseorang sih. Bagus kalau yang iseng hanya satu atau dua. Tapi kalau jumlah yang isengnya sudah lebih dari batas yang bisa di-handle, maka rasanya mau berteriak marah. Kenapa orang suka menebar pesona dimana-mana sih? Rasanya seperti dianggap mainan penghilang kebosanan oleh kalian yang iseng-iseng itu deh. Kesal rasanya.

Semua berkat social networking. Padahal sudah dibatasi dengan menolak semua orang asing tak dikenal disana, akan tetapi ternyata masih ada saja orang-orang iseng yang lolos masuk. Padahal sudah menghapus orang-orang yang mengganggu, tapi kadang masih muncul yang lain lagi. Padahal sudah memilih orang yang sekiranya memang dikenal tapi ternyata bahkan orang yang dikenalpun tetap termasuk golongan iseng. Maaf kalau kesannya sombong, akan tetapi se-sosial-sosialnya gue, gue tetap butuh jarak pribadi, dan gangguan dari si iseng-iseng ini benar-benar sudah sangat menguji kesabaran gue. Maka kalau seperti itu peduli amat dibilang sombong deh, I don’t care, gue butuh my private space dan kalau tindakan drastis seperti bersikap jutek bisa membantu, maka gue bakal ngelakuin itu juga akirnya. When drastic measure is needed, bye bye friendly, welcome vicious, because i need my private space back sometimes.

Through regret we learn about patient,

never take a decision when you’re angry, never speak ill words when you’re emotionally unstable. I learn about it recently.

Yesterday was a good day, because yesterday I’d found my baby boy again. Such a long journey he’d been through, but that journey assures his position in our home. He won’t go anywhere anymore. I’m pretty sure of it, I’ll make sure of it.

I’m talking about my dog, not person. I have three dogs with three different colors, black, brown, and white, but my favorite is the brown one. His name is Brownies, because when he was born, his brothers and sisters are all black. He’s the only one who’ve blessed with brown color, so I named him Brownies. He is 8 years old but has a mind like a one year old puppy.

Brownies is special, he’s not smart, but very cute. He has no race, kinda blasteran from I don’t know how many dog’s races, but he do looks like a race dog. Not too tall, very fat, have a color like a golden retriever, cute face, and his right front leg is white.

Since he was a puppy, we often jokes about how his special characteristic, especially his white leg, and how we’re going to use it if he’s lost someday. And we never know that one day we’re going to use those jokes. That teaches me to speak carefully, because when your words come true someday, you’re going to live your own joke. Brownies do lost, and I, all of us, feel guilty, regret and awfully sad because of that.

The story of Brownies’ awful week starts from two weeks before this lost story. I don’t know why, but he keep barking at night and disturbing my entire neighborhood. We try all solutions, sleeping pills (with doctor instruction of course), slap him every half our, talk to him quietly and nicely, all isn’t working. He did that for about few nights in a row that our securities complain to us about it. He did make my father angry because of that, so angry that my father decides to give him away.

And he did that, he sent Brownies to his cousin’s store, it’s about half hour journey from our home with a car. We all disagree with my father’s decision, but cant complaint because my father’s the head of our family and he doesn’t want to hear any of our reason. So we let him do anything he wants just to reduce his anger because somehow we know he’s going to regret his decision later.

And my feeling’s right. My father soon regretting his decision, and he definitely need to pay dearly for that regret. In the morning we receive a call from my father’s cousin, telling us that Brownies is gone. And we start looking for him everyday since, in that surrounding, hoping to find him running happily.

But inside, I do feel that something bad happen to him. Brownies is one kind of very spoiled dog. I’m sure he couldn’t live well outside. And my worries are increasing every passing hour. I know cry couldn’t solve this problem, but I do cry because I love this dog so much, he is my savior in happy and sad times since he was a puppy. He’s annoying, but I love him.

And not that I blame my father for this event. I love my father, but this is not the first time he decide something and regret it later. Usually he needs to pay dearly for his decision. In this case, he does pay his regret immediately.

The more time, the more worry. We’re all afraid, and we’re all sad. Our home is like a big tension balloon which can explode in every single second. So finally we decide to make some wanted poster and put it around my father’s cousin’s store surroundings. We even put rewards there.

And lucky, in the evening after those posters being put, we receive a call said that they found him. They even told us to come quickly because his condition is very bad. My father, mother and sister who’s been in the middle of journey to Depok quickly turned away to there. And true, there’s Brownies, with very bad condition.

He sat under one tree, in the dust. He couldn’t walk because he’s been hit by a car the night before. He’s been so skinny (brownies was really fat before). His body is full of scratches this and there, no energy because he didn’t eat and drink properly since he was gone. But proud of him, he still can growl to all people there, except to my family. No one dare to touch him till my family came and he looks so happy to see them. But still he couldn’t get up because his back leg is broken.

And finally we bring him back home. My father looks relief, he sure do. We give Brownies a big meal. We let him sleep full night. And finally this morning he starts to walk again, even it’s just a little walk. He’s still tired but he’s alive and he’s home, that’s the most important thing, he’s home. My baby boy is home again.

Thanks God, he’s home.

May 20, 2010

this kind of love

Gue kenal pasangan suami istri yang kerja di satu kantor berbarengan, beda divisi pastinya. Mereka part time dan punya perusahaan professional sendiri di luar kantor. Kesan pertama tentang pasangan ini adalah mereka terlihat adem sekali. Damai sekali bukan karena mereka tampak mesra selalu memamerkan kemesraan, justru jauh sekali dari kadar kemesraan pastinya.

Gue lebih kenal istrinya, karena lebih sering kerja bareng. Suaminya cuma sekedar kenal kalau dia nyamperin istrinya atau kalau papasan dimana gitu. Suaminya, karena gue ga begitu kenal, jadi kesan yang gue punya adalah dia orang ramah dan tulus, soalnya dia selalu menyapa kalau ketemu dan sapaannya bener-bener sapaan, bukan sekedar basa-basi semata.

Soal istrinya, agak lebih sulit dipahami, karena gue lebih sering ketemu dan susah menebak jalan pikiran si istri. Awalnya gue melihat si istri sebagai seorang yang sangat pintar (yah suaminya juga pintar sih). Lalu gue melihat dia sebagai orang yang serius, sehingga gue agak segan sama dia, karena biasanya orang serius dan pintar itu selalu menjaga jarak.

Dan disinilah gue salah total. Sang istri benar-benar orang yang baik sekali. Dan lucu sekali. Dan perhatian sekali. Dan tulus sekali. She’s smart for sure. And she’s serious. But she knows about jokes. And when she smiles, it lights the room. I think I know why her husband seems so devoted to her. And I know why they deserve each other.

Melihat pasangan ini, pasangan yang tahap spiritual hubungannya sudah luar biasa tinggi, seperti melihat cinta yang sempurna dan dewasa. Hubungan suami istri ini sungguh seperti fairy tale. Lulus kuliah S1 lalu menikah dan langsung berangkat melanjutkan S2 di foreign country, just the two of them. And after that they’ve worked there. Sure their knowledge are extensive, tapi mereka tetap memutuskan untuk pulang ke Indonesia setelahnya. Dan mereka masih mau mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan yang jelas tidak sebanding dengan kemampuan mereka. Padahal bisa saja mereka konsentrasi dengan perusahaan mereka sendiri, jelas lebih menghasilkan dan menguntungkan dibanding pekerjaan kantor ini. Dan dengan mendedikasikan, maksud gue bener-bener berhasil mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Dan mereka tetap bisa mengatur dua pekerjaan tersebut, antara kantor dan perusahaan mereka sendiri dengan baik.

Sungguh kombinasi dan kerjasama yang luar biasa sebagai sebuah partner. Apa karena cinta mereka sempurna dan dewasa maka bisa mencapai tahap tersebut? Atau mereka mempelajari tahapan ini perlahan-lahan? Akan tetapi pasangan muda yang berani memutuskan menikah dan berhasil membina hubungan sedewasa ini sampai setelah puluhan tahun menikah adalah suatu cerita istimewa. There’s love, platonic love, the kind of love we’ve been searching in this life and they have it for sure.



Bukan berarti hidup mereka semua sempurna, karena dibalik kebahagiaan mereka memiliki satu sama lain, mereka tidak dikaruniai anak. Dan jujur sampai sekarang gue ga pernah berani menanyakan hal tersebut. Itu urusan pribadi mereka dan bukan hak gue buat tau dan jujur gue ga pengen tau juga. Informasi itu sometimes lebih baik disimpan saja sendiri karena banyak orang lain yang suka menggunakan informasi untuk menjatuhkan seseorang.

Dan buat gue, tanpa anak pun hidup mereka cukup bahagia, karena mereka memiliki satu sama lain. Bukankah itu yang kita cari di dunia? Pasangan yang mencintai segala kelebihan dan kekurangan kita sampai kapan pun juga? Pasangan yang selalu ada disisi kita dan memperhatikan kita? Pasangan yang menjadi dunia kita dan menganggap kita adalah dunianya? I want that kind of love. I want it. And I’m going to get it, no compromise, because I want it all, no less. Just wait and see, I'm going to get it someday.

May 17, 2010

kepala yang penuh

Ribuan pemikiran dan ide berkecamuk di kepala seperti badai yang saling bertabrakan dan bersinggungan bahkan berbaur menjadi satu. Rasanya penuh sekali, seperti adonan kue berkonsentrat tinggi yang dicampur dalam mixer otak ini. Seperti ada ribuan vanya yang berbicara bersamaan meneriakkan ribuan topik yang berbeda-beda. Sungguh pusing sekali ketika ada begitu banyak hal yang berkecamuk di kepala ini, terus berdengung berteriak berceloteh dengan nada yang berbeda emosi.

Lucu sekali kenapa selama ini bisa mencap diri sendiri sebagai seorang introvert jika ternyata pikiran ini menyimpan jutaan pemikiran dan ide setiap hari yang paling tidak sepertiganya harus dikeluarkan ke orang lain yang mau mendengarkan demi kepuasan batin semata. Lucu sekali kenapa bisa merasa diri anti-sosial jika sekarang setiap hari paling tidak harus berbagi tegur dan sapa dengan teman yang tersebar dimanapun, puji Tuhan terhadap teknologi social networking yang sangat memudahkan manusia untuk berkomunikasi walau terkadang berbicara dalam dunia itu terasa tidak nyata saja karena kita tidak bisa membaca ekspresi wajah mereka.

Ternyata saya ini cuma wanita biasa, yang mau didengarkan, yang mengeluarkan kata-kata sekitar tiga kali lipat pria normal, mungkin lebih ketika penyakit bawel sedang menyerang raga ini. Ternyata saya ini cuma wanita biasa yang senang berbicara, membagi pemikiran, kesenangan, kesedihan. Berbicara itu menyenangkan bahkan ketika topiknya hanyalah sebuah cerita konyol saja atau bahkan ketika ceritanya merupakan cerita nestapa sekalipun. Sungguh berbicara itu menyenangkan, bahkan ketika kita sadar bahwa pasangan bicara kita sudah muak mendengarkan celotehan tak jelas. Egois memang, manusia sepertinya terlalu egois memaksa ambang kesabaran orang lain untuk mendengarkan tumpahan emosi yang bahkan terkadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan lawan bicara kita. Kejam dan tega sekali tetapi itulah manusia, selalu ingin didengarkan, terkadang tidak mau mendengarkan.

Dengan berbicara kita berbagi hidup dengan orang lain, walau apa yang dikatakan pepatah bahwa lidah tak bertulang sehingga kata-kata bisa jadi hanyalah kekosongan belaka. Tetap saja, walau yang dibagi itu adalah kebohongan tetapi tetap saja itu adalah hidup, karena hidup dalam kebohongan pun juga bisa dikatakan hidup walau pondasinya adalah pasir yang bisa runtuh kapanpun. Berbagi isi hati adalah hidup karena itu adalah proses pemahaman, pembagian zat pikiran yang tak berwujud kepada orang lain, semacam proses yang harus dilalui manusia untuk mendekatkan kepada orang lain. Berbagi hidup bukan hanya dalam proses bernafas atau proses perkembangbiakan saja. Pertukaran pikiran sama pentingnya dalam kehidupan yang singkat ini.

Dan sungguh, saat ini di kepala ini berkecamuk ribuan topik yang entah harus dituangkan kemana dan dalam wujud apa, ingin rasanya berteriak mengoceh tak jelas atau punya puluhan tangan untuk menuangkan ide tersebut dalam wujud karya apapun. Menyebalkan sekali ketika suatu keinginan dihadapkan pada benturan keterbatasan. Seperti hidup yang hanya setengah saja nikmatnya. Seperti melakukan pertunjukan tanpa satu penontonpun. Rasanya tidak menyenangkan memiliki ribuan pemikiran dalam kepala jika tidak bisa disalurkan kemana-mana.

May 12, 2010

meaning

Since my sisters and I was still a little girl, we love to sit in my parent’s bed to have a chat about simply daily life. All five of us were sit in that queen size bed and talk and laugh and talk again and laugh again. Such a memorable memory from the past. The most favorite topic is our childhood. And one of the most often-discussed topic is the meaning of our names.

My parents have a unique system to names us, three of their children. Each of them choose one name and combine those words as a first and middle name. And I don’t know how, all of our names are unique, seldom used in Indonesia, and usually being misspelled by other person anytime anywhere.

We often asked about our name’s origin and meaning and my mother usually said that she forgot about it. In my case, she only remembered that my name was Russian and it was taking from the name vanessa but she didn’t remember the meaning from that vanessa name.

So when I grow up and got acquaintance with the amazing technology name Google, I Googled it. And I don’t know why I didn’t try to search for the meaning of vanya, instead I search for the meaning of vanessa. And I’ve found that vanessa means butterfly. Beautiful meaning, because I like butterfly, except that they die so young. When I tell my mother about the meaning, she laughs and said that no wonder I always go home late, exactly like ‘kupu-kupu malam.’ Wow, mom, I’m your oldest daughter and you called me ‘kupu-kupu malam,’ but I know that she was joke about it.

After that time, I always have special interest to every butterfly. I love how they have a pair of beautiful wings that flutter when they fly. I love how they metamorphose from an ugly and disgusting thing to become an amazingly glorious creature. I love butterfly, anything about them.

But funny still, I don’t know what happened but few days ago I try to Google the meaning of my real name, vanya. And I’ve found it. After 23 years of my life, I’ve finally found that my name means God is gracious. So I’m not a butterfly. I’m the evidence that God is gracious. No wonder I’m lucky. No wonder I’m blessed. That’s because God is gracious.

But inside I still can see myself as a butterfly, the metamorphose part, not the die-so-young part. Because God is gracious, He gives me many chances to learn from this life and metamorphose myself. And that’s the reason we live in this life, isn’t it, be a better person? Maybe right and maybe wrong, but I believe it’s right. And somehow in this life journey we’ll find our own happiness.



So, I think my name means that I’m a metamorphose butterfly that showered in God’s grace. I know that few people said that name isn’t important, but for me it’s important, because my name fulfill with love from my parents. And although they didn’t remember the meaning of it, I believe that there’s purpose for me, coincidence or not, to have this name.

So, although I have a short life later (and hopefully I won't), I don't mind, because I know God is gracious.

Thanks a lot, Daddy and Mommy, for my life. I love you both so much.

May 4, 2010

Marah

Marah itu sebentuk emosi. Kalau digambarkan, warnanya pastilah merah menyala. Marah itu panas. Merusak diri sendiri dan merusak sekitarnya. Marah seharusnya tidak terlihat. Hanya auranya saja yang membakar dengan panasnya menjadikan sekelilingnya menjadi abu, hangus dan hitam sehingga manusia bisa melihatnya. Marah itu merusak. Akan tetapi diperlukan. Marah itu seperti penyakit, ikut menular dan menyakiti lainnya. Marah itu menyakitkan. Meninggalkan kesedihan dan dendam di dalam hati. Marah tidak boleh disimpan. Beratnya lebih dari beban yang bisa ditanggung manusia, akan tetapi tidak boleh dilemparkan ke orang lain sembarangan karena sekali dikeluarkan tidak bisa dicabut kembali. Marah itu menyebalkan. Luka yang ditinggalkannya sering tidak bisa hilang.

Marah itu buruk. Sebuah perasaan jelek yang terkadang perlu dikeluarkan dari dalam hati. Marah sebaiknya dirasakan sendiri. Jika terpaksa, baiklah silahkan dikeluarkan biar orang lain ikut merasakan panasnya. Hanya saja pengeluarannya harus sedikit berhati-hati. Sebab marah sangatlah tajam seperti pedang yang memiliki dua sisi. Ia bisa menyakiti kita dan bisa menyakiti orang lain sekaligus. Ia bisa membuat kita mendapatkan apa yang kita inginkan atau membuat kita semakin jauh dari apa yang kita inginkan.

Pengeluaran hawa marah tidak sama seperti pengeluaran zat lainnya dari dalam tubuh. Marah tidak sama seperti kentut yang efeknya memberikan rasa lega walau orang lain tersiksa sebentar jika mencium baunya. Atau tidak sama seperti tahi yang juga memberikan kelegaan luar biasa bagi kita jika dikeluarkan. Atau tidak sama seperti ingus yang hanya mengganggu jika tidak dikeluarkan dan sekaligus memberikan rasa jijik jika dikeluarkan. Juga tidak sama seperti keringat yang memang harus dikeluarkan demi kesehatan badaniah. Akan tetapi tidak sama seperti belek ataupun kotoran telinga yang rutin harus dibersihkan.

Persamaannya adalah, marah itu manusiawi, walau juga terdapat dalam diri binatang. Marah selalu ada di setiap lubuk hati manusia. Marah itu pelajaran, karena melalui keberadaannya maka manusia dapat mengenal kebijaksanaan, salah satu privilege yang pada akhirnya membedakan manusia dengan binatang. Marah itu hidup.

Marah adalah marah.



Marahlah, karena dengan marah maka kita hidup.

May 2, 2010

Come on, I can do it

Right now, I hate it to go out at Saturday night. Seeing all the couples in their romantic world is too much. I know, jealousy is one big bad thing, but I can’t help it. Some part of me is letting this little ugly feeling eating me inside. Stupid, I know. Bad, I know. But maybe it’s just an emotion called loneliness. Yes, I think that’s it, it’s just some loneliness. It’s funny how I always feel lonely in the middle of the crowd.

Lonely is really one strong word. For me, it’s picturing a big black hole inside my heart that eating my happiness slowly but sure. Yeah, loneliness is not good for my peace. You laugh with everybody around you, but you feel nothing inside. Flat and empty. It’s strange, really, because you’re not supposed to feel lonely when you have companions. But sometimes, out of the blue, I do feel lonely in the middle of the crowd. It might be in the mall, or in the party, or in the restaurant, or in the family occasion, or even when I’m with my friends.

I think something is really wrong in my mind because, for some reason, I really take myself as antisocial. And apparently, I’m not because I still feel lonely. In the past, I feel lonely sometimes when I have no one to talk to. But now, with the entire communications portal that serves on a silver platter in front of our face, especially when you use this one little magic thing called blackberry, I have so many people to talk with. And strangely, I still feel lonely sometimes too.

I don’t know if having no boyfriend is one of the main reasons for this loneliness or not. I don’t think so, because when I was in a relationship with my last boyfriend, sometimes I still feel lonely too. But anyway, there were times when he just disappears when I need him, so I won’t count this. So maybe it’s true that having no boyfriend is one of the main reasons.

Even my friends laugh on my face when I say that I hate seeing all the couples in the crowded place at Saturday night. Some of them said that I am one of the strangest people alive because here I am, whining about loneliness, but when they tell me to find one boyfriend to share laugh with, I have this horrified expression in my face. They said, ‘You don’t want to be lonely, but you don’t want to have boyfriend too. I don’t know what you want, really.’

Me neither, friends, I don’t know what I want too. I just know that having a relationship is too much for now. Too many complicated area and too many responsibilities that I can’t take and give. And looking for a boyfriend because I feel lonely is one bad reason to start a relationship, don’t you think so? But to tell you the truth, that’s just a little part of my reason. The big part is that I’m afraid. Yeah, I’m afraid. I’m afraid that I’m so trap in this loneliness that I become a bitch who use someone else, especially the one with XY chromosome, to make this loneliness disappear. It’s bad, isn’t it, using someone else to fill my emptiness? I do feel bad, really, and I feel really sorry for my friends who happen to be used. I’m sorry, I truly do, for being such a bad girl. This is one prove that I’m just an irresponsible childish girl who disguise myself as a mature woman while I’m not.

That’s why I decided to stop complaining. I decided to stop using other people. I decided to take some sabbatical leaving from dependant part of myself and learn to be independent, learn to live this life in my own feet for a while. I’m sure I can do it, after all I’m strong, right? So, for now, I have no right to complain at all. The only thing I can do is find some other way to make this loneliness vanish. I should find one hobby, that’s the only other ways, besides make myself as busy as hell.

Come on, girl, I can do it! I can be independent. After all, maybe this is the time for me to find my alibrandi. Maybe this is the time for me to find myself. Maybe this is the time for me to catch my dream.

Yeah, I can do it.