April 1, 2011

Space, dalam perspektif saya

Sebagai manusia yang terlibat dalam Jurusan Desain Interior, yang selalu menjadi topik pembicaraan adalah suatu kata yang sering disebut space. Sebelumnya saya meminta ijin untuk menggunakan ejaan dalam bahasa Inggris, karena bahasa Indonesia, dibalik semua kehebatannya, terkadang masih terbatas untuk digunakan ketika membahas suatu pengertian tertentu. Sebenarnya apa sih space itu? Kenapa space bisa menimbulkan keributan yang berkepanjangan? Saya tidak akan membicarakan space dalam perspektif orang lain yang pernah membahas mengenai space, yang banyaknya tak terhingga. Yang akan saya bicarakan itu murni dari pendapat saya (yang mungkin mirip dengan pendapat orang lain, dan mungkin juga berbeda dari pendapat orang lain).

Space, salah satunya, bisa diartikan dengan dimensi ruang. Mudahnya, anda membuat garis pembatas di suatu area, maka itu sudah menandai space anda. Itu mudahnya. Sedikit diatas mudah, anda membuat teritori milik anda, dan itulah space anda. Cara susahnya, secara tak langsung pancaran kepribadian anda akan membentuk space milik anda.

Yang pertama, membuat pembatas. Kasarnya, misalnya ruang 3x3x3, diberi lantai, dinding, dan langit-langit. Lalu anda duduk di tengahnya. Batas yang ada disekeliling anda adalah space anda. Tapi kok space anda kosong sekali ya? Kalau kosong, bagaimana anda bisa mengatakan bahwa itu adalah space anda? Bisa saja saya datang dan duduk disana ketika anda tak ada. Dan saya bisa mengakui kalau itu space saya. Lalu ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada saya, maka kita bisa berdebat selamanya tanpa menemukan jawaban mengenai space siapakah itu.

Maka muncul makna kedua, membuat teritori. Anda meletakkan barang-barang milik anda didalam dinding 3x3x3 itu. Anda meletakkan sofa untuk duduk, rak buku ditepinya, dan gorden di jendela untuk menghalangi cahaya matahari masuk ketika anda membaca nanti. Tapi lalu apa yang akan terjadi ketika anda pergi dari area itu. Misal anda keluar dari ruangan tersebut selama sejenak dan membiarkan ruangan itu kosong. Misal anda lelah membaca dan pergi ke kamar sebelah untuk tidur. Bisa saja orang seperti saya, lagi-lagi, datang dan masuk ke ruangan itu lalu mengakui itu menjadi milik saya. Dan kejadian sama akan berulang, anda bingung, saya juga bingung, dan kita sama-sama bingung. Space siapakah itu? Apakah space itu?

Jadi akhirnya muncul makna ketiga, membentuk kepribadian. Atau ciri khas. Atau jiwa. Apapun sebutannya. Pemaknaan yang satu ini sifatnya lebih abstrak, tapi sebenarnya mudah. Pembentukan kepribadian ini sifatnya secara disengaja maupun tak disengaja. Contoh mudahnya adalah cerita yang saya dapat dari presentasi mahasiswa Kajian Teori Desain pada semester lalu, yaitu cerita tentang seorang anak yang takut berada di ruangan gelap sendirian sehingga dia bersiul untuk menenangkan pikirannya. Area dalam ‘siulan’ anak tersebut bisa dibilang sebuah pembentuk space milik si anak.

Jiwa, atau kepribadian, adalah hal abstrak yang susah dijelaskan dan tentu tidak bisa dilihat, tetapi keberadaannya mutlak. Contoh mudahnya dalam kehidupan kita, misalnya meja kita di kantor akan terasa berbeda dengan meja rekan kerja kita. Posisi benda di meja dan perbedaan ragam benda saja sudah bisa memberikan karakter yang berbeda. Orang perfeksionis akan memastikan mejanya selalu rapi tak bercela sehingga ketika gelas di mejanya bergeser sedikit saja maka dia akan tahu. Orang sibuk akan memenuhi mejanya dengan tumpukan kertas pekerjaan yang harus diselesaikan dan ajaibnya bisa bekerja dengan baik di area yang tampaknya tak karu-karuan bentuknya. Coba jika meja kedua orang tersebut ditukar, pasti keduanya akan merasa tak nyaman bekerja di meja yang bukan miliknya.

Contoh lebih rumitnya adalah seorang anak perempuan kecil yang ayahnya baru menikah lagi menolak keras ketika ibu tirinya mendekor ulang kamar tidur bekas tempat mendiang ibu kandungnya di bulan ketiga pernikahan ayahnya. Padahal sebelumnya anak tersebut tidak menunjukan penolakan ketika ayahnya mau menikah lagi dan kondisi rumah setelah menikah pun baik-baik saja. Alasannya tampak sepele, tapi mungkin berarti segalanya bagi si anak. Alasannya adalah ketika dekorasi kamar berubah, maka bisa jadi warna yang mengingatkan dia kepada ibunya menjadi hilang. Wangi parfum ibunya yang tersisa di kamar mulai menghilang, digantikan oleh wangi parfum ibu tirinya. Mulai memudarnya hal-hal yang menandakan kenangan antara dia dan ibunya membuat si anak ketakutan sehingga ia mengeluarkan penolakan tersebut. Posisi kenangan antara ibu kandung dan si anak menjadi lenyap, membuat dia sulit untuk merasakan keberadaan ibunya dan ketidakadaan ibunya menjadi semakin diingatkan secara jelas.

Sekilas mungkin terasa seperti ranah psikologis sekali, dan mungkin memang demikian. Itu sepertinya salah satu hal yang membedakan area arsitektur dan interior. Interior jauh lebih personal, pendekatannya pribadi, karena interior bukan hanya harus enak dilihat tetapi harus enak untuk digauli. Toh kita akan hidup dan berinteraksi didalamnya.

Akhir kata, pernah saya membaca kalimat dalam sebuah novel, bahwa rumah yang ideal bukan rumah yang keindahannya tampak seperti rumah-rumah dalam majalah tetapi terlalu dingin untuk ditempati. Rumah yang ideal adalah rumah yang hangat dengan dapur yang berantakan dengan adegan ibu memasak bersama anaknya serta ruang keluarga yang berisi mainan anak-anak bergelimangan di sekitar sofa. Itulah rumah yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itulah ideal. Itulah space. Sama-sama ruang keluarga tetapi yang satu digauli dengan baik dan yang satu hanyalah keindahan tanpa nyawa.

Tetapi lagi-lagi itu hanyalah pendapat saya. Manusia boleh berpendapat selama argumennya jelas, bukan? Apa serunya hidup jika semua orang memiliki pendapat sama.

1 comments:

amadea said...

wih nya, gw baca ini serasa lagi kuliah teori lagi haha. eniwei, emang siapa yang berdebat soal space? beneran sampe debat panjang lebar ngomongn yg namanya space? ckckck.

*kadang merasa apa ya penting teori2 ini buat real life at work.. sampe saat ini gw ga nemu fungsinya sama sekali.. ato gw nya aja ya yg ga ngeh?

Post a Comment