June 17, 2010

namanya juga manusia

Manusia, termasuk saya tentunya, sering sekali lupa dimana tempatnya berdiri sekarang. Suatu gejala yang wajar mengingat bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal budi (kalau semua pikiran manis dan pahit di dalam otak bisa disebut akal budi) di muka bumi ini. Sesuatu yang wajar, wajar dalam arti alibi atau penjeneralisasian sesuatu yang bahkan manusia yang memiliki akal budi ini tidak bisa dengan pasti menyatakan benar atau tidaknya.

Apa karena manusia sudah demikian lamanya menguasai bumi ini tanpa ada campur tangan makhluk lain apapun sehingga terkadang manusia suka lupa bahwa manusia ini hanyalah ciptaan. Atau karena sudah merasa begitu hebatnya sehingga lupa akan keberadaan kuasa yang lebih tinggi lagi dari manusia? Iya dong hebat, bisa menciptakan alat untuk keluar dari garasi bumi, menciptakan senjata yang bisa menghancurkan pulau beserta isinya dalam sekali tekan, menciptakan alat yang nyaris bisa berpikir sendiri. Mana tahu dalam jangka mingguan atau tahunan lagi manusia sudah bisa membuat mesin yang benar-benar bisa berpikir sendiri seperti manusia. Mengerikan bukan kehebatan otak manusia jika digunakan sepenuhnya?

Makanya tidak heran kalau terkadang manusia suka lupa akan posisinya sebagai ciptaan, mulai menuhankan diri, padahal Tuhan cukup ada satu diatas sana. Mulai merasa hebat sehingga bisa menentukan hidup matinya nyawa lain (lihat saja kenaikan angka aborsi atau pembunuhan di dunia). Mulai merasa hebat bisa menentukan benar atau salah di dunia. Mulai merasa benar bisa menyatakan apakah si A beriman atau tidak. Mulai merasa hebat bisa menentukan kehidupan orang lain. Mulai merasa hebat menyatakan bahwa perbuatan ini dosa dan itu tidak. Mulai merasa hebat sehingga setiap hari sibuk mengomentari dosa ini dan dosa itu.

Contohnya banyak sekali di kehidupan sehari-hari, terutama di bumi Indonesia tercinta ini. Belakangan ini topic yang paling marak dibicarakan adalah kasus artis ibukota AP-LM-CT (males ngetiknya jadi disingkat aja yaa). Mendadak semua ahli keluar untuk mengomentari, dari pemuka agama sampai rekan seprofesi, dari kaum ibukota sampai penduduk pinggiran. Komennya dari yang simple seperti ketawa malu sampai komentar mengenai moral ketiga oknum (seperti dirinya orang yang paling sempurna di dunia saja). Oke, saya juga gak boleh komen sembarangan. Tapi jujur bosen juga mendengar berita tentang ketiga orang itu, padahal topiknya cuma sepenggal tapi gak selesai-selesai ngomonginnya. Come on, people, have a pity on them. Toh yang lainnya juga bukan sesuci itu, cuma bedanya gak direkam dan atau gak diaplot ke dunia aja.

Atau contoh lainnya dalam kehidupan sehari-hari, sering sekali mendengar celetukan gak enak kalau sedang membicarakan mengenai seseorang yang kurang disukai. Lepas dari orang yang kita kenal atau bahkan yang gak kita kenal. Jika ada teman preman atau koruptor asing yang mati mengenaskan, komen yang akan keluar adalah, ‘Sukurin, udah sepantesnya. Dosa sih, makanya begitu.’ Hebat bukan, kok bisa juga manusia menentukan itu pantes apa bukan, itu dosa apa bukan. Kan manusia bukan Tuhan, bukan?

Kalau buat urusan ini, mending jadi golongan putih aja deh, pilih no comment, soalnya jangan-jangan saya sendiri juga lebih parah dari itu. Kalau udah begitu, cuma bisa sekali-sekali menyendiri menghadap Tuhan dan meminta ampun. Ampun Tuhan buat semua kekurangajaran saya melangkahi batas-Mu. Mungkin diatas sana Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya heran, sambil berbicara kepada archangel disekitarnya, ‘Yah, namanya juga manusia.’

Namanya juga manusia, tempatnya salah dan dosa.

0 comments:

Post a Comment