April 28, 2010

dari Roh-Jiwa-Raga yang penuh tanya

Paling terasa menyenangkan ketika terbaring terlentang di bawah langit luas, polos, sendiri, dalam pikiran masing-masing. Terasa menggairahkan untuk menikmati semburat merah matahari yang muncul menyapa di pagi hari. Terasa bersemangat untuk menghisap energi birunya langit yang ceria di siang hari. Terasa romantis mengecup hangatnya matahari yang berpamitan di senja hari. Terasa menenangkan beristirahat dibawah gelapnya langit malam bersama bulan dan bintang yang berpesta dan bercengkrama dengan asyiknya.

Saat seperti itulah kesadaran yang selalu ada tapi jarang disadari muncul. Kecil. Manusia itu kecil. Kita hanyalah debu tak berarti, sungguh, percayalah. Karena itulah kita diberi akal budi, supaya kita bisa berkarya, berkreasi, mengeluarkan ide dan pikiran, supaya debu tak berarti memiliki kesempatan untuk meninggalkan jejak yang juga tak berarti di dunia ini.

Sungguh mengecilkan sekaligus membesarkan diri jika berada dibawah langit luas, polos, sendiri, dalam pikiran masing-masing. Tuhan betul adalah seniman. Paling tidak, dia adalah desainer. Dia membuat blue-print yang entah dibangun dalam jangka waktu ribuan, ratusan ribu, jutaan, atau bahkan milyaran tahun, kita tidak akan pernah tahu sejauh mana umur permainan bumi ini. Tidak ada manusia yang hidup selama itu bukan pastinya? Dia membuat maket dalam wujud angkasa, bumi, dan kita. Dia membuat gambar presentasi dalam bentuk permainan skema warna dari semua warna yang ada di dunia, cukup tebarkan pandangan ke sekeliling untuk melihat warna tersebut. Yang tidak kita ketahui adalah, entah kepada siapa dia akan mempresentasikan rancangannya ini.

Ya, dunia untuk Tuhan sang desainer adalah kanvas luar biasa. Kita hanya titik berukuran mikro yang tidak akan berarti jika tidak digabung dengan titik lainnya. Jadi walaupun tidak berarti, dalam pandangan optimisme, sebenarnya kita berarti juga. Karena itulah setiap manusia memiliki keunikan masing-masing walau tetap saja pasti memiliki persamaan satu dan dua di area tertentu. Di kanvas yang luas ini, kita tinggal memilih untuk menjadi titik seperti apa atau warna seperti apa sesuai dengan jalan hidup kita. Bukankah hidup adalah pilihan? Semua pilihan yang kita ambil akan memberikan makna yang berbeda nantinya.

Benarkah demikian? Benarkah hidup kita bermakna walau kecil? Kalau dipikir-pikir, apa rencananya kita manusia hidup di dunia? Apa tujuannya sejarah beribu-ribu tahun lamanya yang seperti spiral terus mengulang inti kejadian, hanya membedakan sarana dan prasarana saja. Apa tujuannya pergantian era dari dulu sampai sekarang? Apa pentingnya evolusi? Sebenarnya apa master-plan yang Tuhan buat untuk dunia ini?

Seberapa pun besarnya pertanyaan kita, sepertinya sampai kapan pun manusia tidak akan diberi kesempatan untuk melihat blue-print tersebut. Kita hanya bisa bertanya-tanya, mengulang jaringan pemikiran penting-penting-tidak-penting ini dalam benak kita sendiri. Kita hanya bisa mengulang pertanyaan retorikal ini sambil menghabiskan energi kita dan tetap saja tak akan menemukan jawabannya. Kenapa kita bisa berpikir jika tidak akan menemukan jawabannya?

Sebenarnya apa makna kita di dunia? Kenapa kita diberi pikiran dan akal budi? Apa tujuannya untuk memberikan warna dalam kanvas tersebut? Lalu bagaimanakah dengan anak-anak yang meninggal sebelum dilahirkan? Atau anak-anak yang meninggal dalam usia sangat belia? Bukankah mereka belum sempat memberikan jejak di dunia? Bagaimanakah pengertian pemberian makna dalam kehidupan itu? Apakah perasaan sudah bisa disebut jejak? Ataukah perlu perbuatan nyata yang terlihat oleh mata baru bisa disebut jejak? Bukankah tidak terlihat bukan berarti tidak ada? Tetapi betulkah ada itu menjadi penting?

Sungguh manusia sangat kecil dan tidak berarti. Kenapa perlu kita meninggalkan jejak di dunia? Siapa yang akan melihat jejak itu nantinya? Siapa yang akan mengagumi jejak itu? Apa pentingnya meninggalkan jejak di muka bumi? Toh kelak akan ada orang lain yang akan menimpa jejak kita itu dengan miliknya lagi dan lagi. Betulkah perlu kita mengeluarkan pemikiran kita itu? Siapa yang akan menikmatinya? Apakah kita sendiri demi keegoisan dan arogansi semata ataukah untuk kepentingan orang lain. Jika untuk orang lain kenapa juga harus ada yang peduli? Kenapa kita harus peduli dengan apa yang diperbuat oleh orang lain? Bukankah manusia itu lahir sendiri dan mati sendiri?

Tetapi jika tidak dikeluarkan, kenapa kita diberi pikiran dan akal budi yang meledak-ledak, yang penuh dengan rupa dan wujud, yang penuh warna dan rasa, yang harus dikeluarkan supaya bisa memberikan suatu produk nyata yang bisa dinikmati dan dihujat oleh kita lainnya. Sungguh aneh dunia itu. Mungkin karena kita hanya setitik debu maka kita tidak akan bisa mengerti tujuannya sampai kapanpun juga. Sungguh hidup itu aneh.

Apa perlunya kita manusia memiliki perasaan sedih, gembira, marah, kecewa, semangat? Apa pentingnya emosi tenang dan menyembur dari diri kita? Apa pentingnya perasaan hangat akibat persinggungan dengan manusia lain? Apa intinya kita mencintai kalau hidup manusia tidak berarti? Apa perlunya berbuat baik atau jahat jika apapun yang kita lakukan seperti tidak meninggalkan apapun di muka bumi? Apa perlunya dikenang oleh manusia yang kelak akan mati juga?

Apa pentingnya berbuat baik dan jahat yang jika ditimbang saja manusia takarannya kecil sekali? Apa pentingnya memiliki cita-cita dan mimpi? Apa pentingnya berusaha sekuat tenaga? Apa tujuannya kita tertawa dan menangis? Apa perlunya kita memaki dan menghibur? Apa tujuannya kita beranak pinak dan memenuhi bumi? Apa pentingnya merasa itu? Kenapa tak hilangkan saja perasaan yang ada seperti layaknya patung-patung indah tanpa hati?

Apa tujuannya kita hidup 80 tahun yang cukup lama untuk kita tapi cukup sekejap bagi Tuhan, sang master-planner kita? Apa tujuannya jika bukan untuk meninggalkan jejak? Tetapi kemudian kenapa jejak itu penting? Toh kelak akan hilang juga.

Apakah sebenarnya eksistensi manusia itu? Apakah manusia itu bermakna? Apakah kehidupan yang kita kecap saat ini adalah nyata? Lalu kemana kita pergi ketika roh kita sudah terbang dan jiwa kita hilang dan raga kita menjadi debu dan tanah dan air yang lalu terbang hanyut dan lenyap begitu saja tanpa bisa dikenali lagi? Apakah artinya semua titik kehidupan bila diletakkan di dunia yang sangat luas ini? Apa yang dipikirkan oleh Tuhan ketika memandang bumi ciptaan mahakaryanya ini? Apa yang Tuhan rencanakan ketika melihat titik-titik debu kehidupan manusia fana ini?

Tetapi kalau dipikir-pikir, pentingkah kita menanyakan hal itu? Pentingkah tahu tujuan manusia di dunia? Pentingkah melihat rencana besar rancangan mahakarya Tuhan? Pentingkah semua itu?

Kenapa tidak kita nikmati saja? Kita, manusia, kecil dan tak berarti bagaikan bulir debu di alunan melodi waktu yang mengalir dalam sungai sejarah kehidupan. Kenapa harus peduli apakah keberadaan kita penting? Apakah tidak cukup untuk menganggap diri kita penting? Kenapa tidak menikmati keegoisan dan arogansi yang memang hanya diijinkan untuk dimiliki manusia saja?

Kenapa mempertanyakan Tuhan? Memang kenapa kalau kita hanya sebuah titik mikro dari entah berapa hitungan tak terhingga titik-titik yang membentuk sebuah lukisan mahakarya? Bukankah sudah cukup kalau kita bisa bangun bernafas dan menjalankan kehidupan ini? Bukankah sudah cukup kita bermimpi dan mengejar mimpi tersebut? Bukankah sudah cukup dengan memberikan senyuman sejuk kepada orang lain setiap hari? Bukankah sudah cukup memiliki seseorang untuk bergandengan tangan dan menjalani hidup bersama sampai ajal memisahkan? Bukankah sudah cukup kita ada bersama disini sekarang menikmati waktu yang tersedia saat ini? Kenapa tidak puas hanya dengan ada itu saja?

Kenapa manusia tidak pernah puas? Kenapa manusia tidak bahagia dengan keberadaan? Kenapa manusia tidak pernah berkata cukup? Kenapa selalu ingin mengetahui hal-hal yang tidak perlu diketahui? Kenapa tidak pernah puas?

Kenapa mencobai Tuhan dengan bertanya? Kenapa tidak terima saja bulat-bulat?

Kenapa mempertanyakan Tuhan?

Kenapa?

4 comments:

amadea said...

ah vanya, jadi ingin ngobrol panjang lebar..haha..

menurut gw, manusia, walaupun hanya berarti mikro di alam semesta ini, bukan cuma meninggalkan jejak, tapi merupakan bagian dari rantai rumit tak terpisahkan. sekecil apapun mata rantai itu, tetap saja dia mengkaitkan satu mata rantai dengan yg lainnya. setiap kehidupan manusia, seberapapun kecilnya, seberapapun singkatnya, pasti akan berkaitan dengan hidup orang lain, dan mempengaruhi orang lain dalam cara tertentu yang mungkin ga pernah kita tau. yang pasti, ga ada hal sekecil apapun yang terjadi tanpa maksud dari Sang Maha Desainer :)

Vanya Alessandra said...

ah dea, betul sekali, jadi pengen ngobrol panjang lebar... there will time for that later :)

admin said...

karena banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, seperti mimpi, dan pikiran. dimanakah pikiran manusia berada dalam otak? dimanakah roh? dimanakah jiwa? apakah Tuhan bisa mendengar doa kita walau mungkin kita tidak berdoa dengan bahasanya? kenapa ada manusia yang bisa melihat makhluk spiritual? kenapa ada yang mendapatkan mukjizat dan yang lain tidak?

Jika memang ada satu Tuhan yang sama, kenapa tidak ada gambaran yang sama di semua budaya?

mungkin karena kita sendiri menyadari betapa uniknya struktur tubuh manusia. Kita bisa membelah otak, membelah rongga badan, tapi pikiran dan kesadaran tidak akan ditemui, sama seperti mimpi tidak bisa ditemukan dimana-mana, dan akhirnya kita mungkin bisa mengambil kesimpulan asal mula pikiran mungkin sama dengan asal mula Tuhan.

sama seperti makrokosmos dan mikrokosmos. kita semua adalah percikan ataupun manifestasi dari sebuah kesadaran universal/causa prima/substansi yang sudah mengada sebelum semua ada. sesuatu yang tak terbatas harus menjadi terbatas agar bisa terdefinisi.

mungkin kita semua ingin kembali ke kondisi tidak terbatas itu, suatu kesadaran dimana segalanya adalah kita, dan kita adalah segalanya, dan kita adalah Tuhan.

-cms-

Vanya Alessandra said...

wah perlu sesi ngobrol panjang lebar vin buat ngomongin ini :) it's been a long time since the last talking time yaa..

Post a Comment