August 31, 2010

1+1 belum tentu = 2

Dari jaman pertama kali manusia belajar, penjumlahan mungkin adalah dasar pembelajaran perhitungan matematis yang akan digunakan sampai kapanpun juga. Satu tambah satu sama dengan 2. Itu yang ditanamkan di benak kita sampai-sampai kita terlalu terpaku pada wujudnya. Memang jika satu tambah satu sama dengan dua, hidup menjadi jauh lebih mudah. Semua hal dihitung dari kuantitasnya saja. Tidak repot bukan? Beli karcis bioskop misalnya, jika ada dua kepala, maka yang harus dibayar adalah dua. Sama dengan tiket pesawat atau tiket masuk taman bermain. Terkadang ada sedikit pengertian dari penjual dengan mengurangi harga untuk anak-anak dibawah lima tahun (misalnya).

Itu kalau bendanya mudah dihitung, seperti kepala atau telur. Satu kilo telur ya enam belas biji, kalau ada timbangan baru ditimbang, kalau tidak ada yasudah hitung saja berdasarkan enam belas biji itu. Kalau beli ayam di pasar maka hitungannya per ekor. Kalau beli sayur maka hitungannya per ikat. Kalau belanjanya di supermarket, maka hitungannya menggunakan timbangan, sampai nol koma nol sekian pun harus kita bayar ke sen terakhir. Lebih adil mungkin dibanding di pasar, tapi harganya relatif lebih mahal sedikit dari pasar tradisional.

Lalu sebenarnya apakah tulisan ini adalah tentang belanjaan dan pasar? Tentu bukan.

Di seluruh area kehidupan kita, satu tambah satu adalah dua. Fix, tidak bisa ditawar lagi. Padahal manusia tidak sama per pribadinya. Baik telur, ayam, manusia, bahkan benda-benda mass produksi sekalipun tidak ada yang sama persis. Memang kalau dilihat sekilas, semua benda mass produksi itu bentuknya warnanya benar-benar (nyaris) identikal. Tapi sejujurnya siapa yang bisa menakar kesamaannya. Mata kita melihat beberapa kesamaan signifikan dan mengatakan itu sama. Mulut kita merasakan kesamaan rasa maka kita mengatakan itu sama. Penilaiaannya relatif sekali.

Contohnya indomie, makanan (nyaris) pokok bangsa Indonesia. Hari ini makan sebungkus terasa kenyang, besok makan sebungkus terasa kurang. Aqua botol 600ml, pagi diminum terasa segar, sore diminum terasa kurang manis dibanding botol yang pagi. Karcis bioskop dua kepala maka dua tiket, tanpa peduli kepala yang satu beratnya empat puluh kilo dan kepala lainnya beratnya sembilan puluh kilo. Bahkan dua buah melon yang memiliki berat yang sama tetapi belum tentu kadar kesegarannya dan manisnya sama satu dengan yang lainnya. Padahal kalian membayar sama untuk kedua benda identik tersebut. Adil? Tentu tidak. Mudah? Tentu iya.

Satu tambah satu adalah dua merupakan sebuah prinsip kuantitas. Padahal yang lebih meninggalkan persepsi di benak manusia adalah kualitas. Kalau menggunakan kuantitas maka lama hubungan ditambah faktor kebiasaan berarti cinta. Kalau menggunakan kualitas maka sesedikit apapun waktunya kalau dijalani dengan sepenuh hati akan lebih bermakna dari jam-jam lainnya yang terbuang. Memakan seporsi omelete di restoran tidak sama dengan feeling yang ditinggalkan ketika anda memakan omelete yang dimasakkan oleh istri tercinta.

Itu adalah bukti nyata bahwa hidup adalah relative dan persepsi manusia lebih mudah diisi oleh sebuah kualitas. Jika selalu meributkan kuantitas sesuatu, mungkin lama-lama akan melupakan sebuah kualitas. Kuantitas melupakan sebuah kesan, sedangkan kualitas meninggalkan kenangan yang akan selalu diingat oleh benak manusia.

Jadi berhubung hidup itu relatif, mari kita memupuk kualitas. Karena jangan-jangan satu tambah satu belum tentu sama dengan dua.

0 comments:

Post a Comment