September 17, 2010

duniawi versus spiritual

Di tengah keributan mengenai ke-agama-an saya mendapatkan ilmu ini dari my previous lecturer. Ada beberapa tahapan ke-agama-an seseorang. Mulai dari level yang paling rendah yang sifatnya simbol-simbol fisik. Level ini akan sangat mementingkan tampilan fisik, hanya meributkan gambar atau simbol semata saja. Tahap selanjutnya adalah beragama tradisi dan membangun kebiasaan, mengikuti acara keagamaan sehingga merasa sudah beribadah. Level berikutnya bersifat hukum sehingga baru mulai betul-betul menggumulkan bagaimana diri sendiri dalam menaati hukum-hukum Tuhan secara tuntas dalam segala aspek. Level terakhir adalah dimana keagamaan sudah melebur dalam nurani terdalam sehingga mampu peka sekali melihat segala sesuatu dari kebenaran ajaran agamawinya. Ilmu yang jujur saja tidak pernah saya dapatkan di sekolah manapun, ternyata malah muncul di arena mengobrol yang tak terduga. Tidak perlu jauh-jauh mempertanyakan atau menilai bangsa, dimanakan diri kita berada dalam tahapan itu?

Di bangsa yang katanya adalah negara berkembang ini, membicarakan kata Tuhan tidaklah tabu, karena Tuhan atau Yang Maha Kuasa masih bersifat general, milik semua orang. Lalu ketika manusia menambahkan unsur kepemilikan, Tuhan saya dan Tuhan kamu, Tuhan saya atau Tuhan kamu, Tuhan saya bukan Tuhan kamu, mulai perbedaan muncul. Agama selalu berkaitan erat dengan Tuhan, tetapi jelas tidak bisa berdiri sebagai sesuatu yang general, karena berbeda dengan Tuhan, agama punya jati dirinya masing-masing. Ketika kepemilikan muncul, maka pengidentifikasian ikut muncul. Mungkin karena itulah maka membicarakan perihal agama akhirnya bisa menjadi tabu, sesuatu yang tidak bisa bebas dibicarakan karena bisa menyinggung satu dengan lainnya.

Yang sejujurnya menjadi aneh, karena agama adalah sebuah jalan di mana jika melaluinya maka manusia bisa sedikit lebih memahami Tuhan dan diharapkan bisa mendekatkan diri pada-Nya. Tetapi dalam faktanya, banyak manusia yang lupa sepertinya bahwa yang pada akhirnya kita temui nanti adalah Tuhannya, bukan agamanya. Bergeserlah paradigma umum sehingga manusia menggunakan ‘agama’ untuk menuju ke ‘agama’ tertentu, dan Tuhan dilupakan.

Seperti diduniakan saja, lalu para agama diurutkan dalam jenjang lebih baik dan buruk seperti pemilihan 50 pria terkaya dalam majalah A atau 100 wanita terseksi menurut majalah B. Seperti diduniakan saja lalu para agama dan Tuhan-nya diberikan kavling-kavling layaknya pemandangan gedung pencakar langit yang saling bersaing untuk menjadi yang tertinggi dan terbaik. Seperti diduniakan saja lalu mendadak semua orang berlomba untuk mengatasnamakan agama dalam setiap perbuatannya seperti pemberian cap dalam dokumen sehingga dinyatakan sah apapun isi dokumen itu.

Sejak kapan agama dijadikan sebuah ajang untuk pertempuran, adu kekuatan dan pertunjukan kehebatan? Apa manusia sudah terlalu lama berada di jalan kapitalisme maka suatu agama dan ke-Tuhan-an pun dikonsepkan seperti dunia yang saling memakan? Sejak kapan agama yang seharusnya memperbaiki hidup manusia malah menciptakan dunia yang penuh kebencian dan ketakutan? Ini seperti sebuah dunia surrealism dalam lukisan karya Salvador Dali dimana kenyataan dibengkokkan sedemikian sehingga terlihat benar. Sejujurnya apa diri ini tahu apa makna benar itu sebenarnya sehingga bisa dengan mudahnya mengatakan salah?

Dimanakah saya sekarang berada sekarang sejujurnya?

2 comments:

amadea said...

ada yg bilang kebenaran itu konsensus nya, karena banyak yg bilang sesuatu itu benar, maka akhirnya diterimalah "sesuatu" itu sebagai kebenaran. makanya, kaum mayoritas sering merasa "benar" karena punya massa banyak dan merasa "berhak" menjudge ataupun mengatur pihak minoritas.

sad, but true.

Vanya Alessandra said...

itulah yang dinamakan semua hal tidak ada yang mutlak yaa..

who we are to say :)

Post a Comment