September 24, 2010

Cerita twenty-something

Umur twenty-something buat gue yang seorang wanita lajang berarti adalah rangkaian undangan pernikahan kenalan atau saudara sepantaran. Buat wanita lajang tanpa kekasih maka di pesta semacam itu yang sering muncul adalah pertanyaan ‘kapan nyusul’ yang akan diikuti oleh jawaban ‘nyusul sama siapa’ yang nantinya pasti merembet ke nasehat, petuah, maupun pembicaraan kurang menyenangkan lainnya. Buat wanita lajang dengan kekasih maka yang pasti muncul adalah pernyataan ‘kapan nyusul’ yang berbentuk pertanyaan tapi sebenarnya lebih mirip ke pernyataan ‘nyusul dong’ yang biasanya pasti akan diikuti jawaban ‘tunggu biayanya’ yang lanjutannya merupakan obrolan wanita yang sebaiknya disensor dari telinga pria. Such a pressure, bahkan orang yang paling cuek sekalipun lama-lama bakal merasa punya semacam tekanan sosial.

Pernikahan. Suatu ajang yang buat wanita kebanyakan adalah seperti pencapaian hidup. Siapa bilang bahwa wanita modern sudah lebih luas pikirannya? Kalau diteliti gue yakin pasti sebagian besar otak wanita dipenuhi topik tentang pernikahan, terutama pestanya.

Yang harusnya gak wajar. Memangnya orang yang belum menikah bisa tahu apa itu pernikahan, atau lebih jelas lagi, kehidupan pernikahan? Kalau belum tahu kenapa berani memikirkan pestanya? Kenapa upacara dan pesta pernikahan sekarang malah menajdi lebih penting dari esensi pernikahan sendiri. Buktinya adalah jawaban ‘tunggu biayanya’ yang selalu terlontar membuktikan bahwa pesta lebih penting daripada kehidupan sesudah pesta.

Pesta yang harganya super tidak wajar mengingat satu pesta biayanya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil kalau biasa, atau rumah di perumahan elit kalau luar biasa. Belum lagi kebanyakan tamu yang datang adalah muka-muka tak dikenal yang adalah saudara super jauh atau relasi orang tua mempelai. Lalu keributan dalam membuat sebuah acara maha besar ini dari persiapan sampai hari H sejujurnya bisa membuat pasangan manapun bertengkar hebat karenanya (makanya banyak wedding planner bukan?). Begitu mengetahui faktanya, rasanya menikah tamasya itu indah ya? Belum lagi kenyataan bahwa acara besar-besaran semacam itu bukan jaminan bahwa didepan sana menunggu kebahagiaan yang tak terkira.

Oleh karena itu, gue, seorang wanita lajang twenty something belakangan sudah membuang semua data pernikahan dari otak gue jauh-jauh. Ngapain dipikirin, kayak hidup udah kurang susah aja pake mikirin hal yang belom waktunya dipikirin. Mungkin gue nikahnya beberapa taun lagi, mungkin tau-tau besok. Mungkin dipestain mungkin enggak. Mungkin gue bakal nikah sama orang ketiga yang ngelamar gue ato ama orang yang ngelamar gue tiga kali. Who knows? Yang pasti dari kehidupan itu kan ketidakpastian.

Yang jelas, gue bakal nikah sama orang yang cinta sama gue setengah mati, orang yang bisa ngeluarin semua yang terbaik dari dirinya buat gue dan cuma karena gue, orang yang bisa bikin gue ngeluarin semua yang terbaik dari diri gue demi dia, orang yang bisa bikin gue lumer setiap ngeliat cinta dia ke gue di mata dia dan bikin gue bisa bilang iya buat apapun yang dia minta, orang yang gak sempurna yang cintanya ke gue begitu sempurna dan menjadikan kami pasangan sempurna. Mungkin itu tujuan hidup gue, buat nyari orang semacam itu, atau bahkan biar aja dia yang nyari gue sampe ketemu. Sekali lagi, gak ada yang pasti di dunia, tugas kita adalah berusaha untuk yang terbaik. Mungkin lo mikir gue ngayal, atau mimpi ketinggian. Boleh aja dong, ini kan hidup gue. Apapun yang gue mau itu sah-sah aja kan?



I just want to believe that maybe fairy tales does exist somewhere in the future :)

0 comments:

Post a Comment