Manusia hidup di dunia dengan sebuah priviledge khusus, yaitu salah satu hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Demi hak tersebut, manusia dikaruniai alat penyampaian, alat penerimaan, pengertian untuk pemaknaan, dan tentunya bahasa. Ya, bahasa, beribu ragam bahasa peninggalan jaman menara Babel yang memecah belah manusia menjadi ribuan suku yang berbeda bahasa (jika kita melihat dari cerita tersebut) dan tentu saja berbagai bahasa pengembangannya.
Bahasa diciptakan untuk manusia berkomunikasi. Tujuannya jelas untuk mempermudah manusia dalam saling memahami. Manusia dikaruniai mulut dan lidah untuk berbicara suatu bahasa dan telinga untuk mendengar suatu bahasa. Bahkan dalam hati dan pikiran kita berseliweran bahasa-bahasa yang paling kita kuasai. Bahasa benar adalah sebuah alat bantu manusia. Tetapi apakah benar manusia hanya berkomunikasi dengan bahasa saja? Apakah bahasa merupakan alat tertinggi buat manusia untuk menyampaikan maksudnya? Bahasa, suatu alat untuk lebih saling memahami akan tetapi terkadang malah bisa membuat manusia menjadi tidak saling memahami. Terkadang, sejujurnya terkadang, bahasa malah seperti membatasi komunikasi. Jika seperti itu, apakah kesalahan terletak pada pengucapan, penerimaan, atau pemaknaan?
Bahasa sungguh terbatas oleh kapasitas penggunaan kata-kata yang disediakan dalam vocabulary-nya. Contohnya dalam bahasa Inggris, bahasa Internasional yang harusnya dianggap paling luas sehingga diberi jabatan internasional tersebut. Jumlah vocabulary dalam bahasa Inggris paling hanya sejumlah ratusan ribu atau jutaan (sungguh sumpah saya tidak tahu jumlahnya). Itu baru bahasa Inggris, jangan-jangan bahasa lainnya yang lebih sederhana vocabulary-nya memiliki jumlah yang lebih sedikit dari itu dan tentu saja lebih membatasi pengungkapannya. Di lain pihak, manusia, yang katanya diciptakan sesuai citra penciptanya, memiliki kedalaman pikiran dan perasaan yang pastinya sering sulit untuk dijabarkan dengan sejumlah vocabulary terbatas tersebut. Sering sekali pastinya manusia menghadapi kejadian dimana pikirannya berkecamuk berbagai emosi sedangkan mulutnya terkunci karena tidak tahu kata-kata macam apa yang harus dikeluarkan untuk mengungkapkan perasaannya. Lalu kalau sudah begitu, apakah bahasa membantu?
Saya pernah mendengar pertanyaan dari seorang teman, ‘Bagaimana jika tidak ada bahasa di dunia?’ Pikiran pertama yang muncul adalah betapa sulitnya kalau tidak ada bahasa kan. Bagaimana cara manusia berkomunikasi kalau begitu. Akan tetapi setelah dipikirkan lebih lanjut, sepertinya saya terlalu terpaku pada kata ‘bahasa’ itu sendiri. Apakah betul sebuah bahasa hanyalah kumpulan kata-kata yang bisa dirangkai untuk menyampaikan maksudnya? Seperti helaian benang yang kalau disatukan bisa membentuk lembaran kain. Memang kalau seperti itu, jika pemahaman mengenai bahasa hanyalah kumpulan vocabulary, jika material mentahnya diambil, which is, in this case, the words, maka habislah sudah komunikasi manusia. Sama ketika kalau benangnya diambil, maka tidak akan terjadi lembaran kain.
Lalu bagaimana dengan pikiran dan perasaan yang susah dijabarkan tersebut, yang kadang-kadang bahkan berbagai bahasa saja tidak dapat menjabarkannya. Bagaimana dengan pemunculan ide abstrak dalam pikiran yang masih sangat mentah, yang sungguh sulit untuk dijelaskan. Kita sebagai pemilik ide, pikiran, dan perasaan tentu paham bagaimana maknanya bukan, hanya saja jika disuruh menjelaskan, mulut terasa terkunci. Apakah substansi abtrak tersebut bukanlah bentuk bahasa yang lain? Bahasa yang sebenarnya, bahasa yang bukan dalam pemaknaan berupa kumpulan kata saja.
Mungkin memang sebaiknya jangan membatasi pengertian bahasa sampai pada kumpulan vocabulary saja, sebab jika hanya mengandalkan kata-kata yang tersedia, tentu sulit sekali menjelaskan suatu konsep dalam benak kita supaya dimengerti oleh orang lain. Pikiran dan perasaan, jika diungkapkan saja sering menimbulkan kesalahpahaman. Sedangkan media pengungkapan bahasa jaman sekarang jumlahnya ribuan. Bisa melalui indra penglihatan, pendengaran, perasa, apapun. Sedangkan pemahaman melalui salah satu indra, yang berarti hanya sepotong informasi saja, bisa saja salah. Kalau sudah salah paham, dimana letak missing link yang menimbulkan perkara tersebut? Apakah penyampaiannya? Apakah penerimaannya? Apakah pemaknaannya? Memang luas sekali ya bahasa itu ternyata. Bisa digunakan untuk berkomunikasi, bisa menimbulkan miskomunikasi. Bisa dijadikan alat perdamaian, bisa dijadikan senjata. Pedang bermata dua yang sederhana tapi sejujurnya memiliki fungsi yang luar biasa besarnya.
Jadi, saran saya, jangan mengkotakkan bahasa, jangan mengkotakkan diri. Dunia begitu luas, ada ratusan juta kemungkinan yang tersedia. Belajarlah untuk mengolah informasi setelah mengumpulkan semua potongan keterangan sehingga bebas dari salah penggunaan yang merugikan. Bahasa selaku alat berkomunikasi yang bisa menimbulkan miskomunikasi juga hanyalah sebuah alat bantu semata. Menuankan bahasa bisa mencelakakan diri sendiri. Manfaatkan dia dengan bijak.
July 22, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
ga cuma bahasa, tapi ada juga orang-orang yang "berkomunikasi" melalui karyanya, karya seni, lukisan, bangunan, desain, etc. itu juga ungkapan emosi dan perasaan kan, yg mngkn tak dapat diucapkan dengan kata2 dan bahasa..
itu bahasa juga kan namanya, bahasa desain atau bahasa visual. tetep aja bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam pemaknaan. contohnya banyak, inget gereja corbu yg masih suka ditebak2 bentuknya, atau lukisan monalisa yg katanya menyimpan rahasia. itu baru lukisan da vinci yg bahkan bukan abstrak. gimana kalo karya abstrak macam picasso ato cubism-nya matisse ato lukisannya pollock. bener sih bagi pembuatnya, dia bisa menuangkan perasaannya, tapi apa penikmatnya bisa paham sama maksudnya si pembuat..
Post a Comment