Bosan menunggu sendiri, sekali lagi mensyukuri terciptanya benda bernama blackberry yang bisa digunakan untuk berbagai macam hal kapanpun dan dimanapun, termasuk membuat tulisan tidak penting seperti ini. Sorry ya kalau kesannya anti-sosial, tapi menunggu sendirian di tempat asing itu sungguh tidak menyenangkan. Intinya, sendirian itu menyebalkan. Sekali lagi mendongak untuk memandang sekeliling dan merasa betapa sendirinya manusia di dunia ini. We were born alone, and someday, we’re going to die alone (sempat terlintas di benak, kalau begitu kenapa kita harus mengalami perjumpaan kalau nantinya akan berpisah juga? Atau karena kelak toh kita akan terpisah maka saat ini diberi pertemuan dengan banyak orang untuk mengisi hari-hari kita?).
Lalu teringat tentang Akong, kakekku yang berumur 82 tahun. Masih sehat. Masih sering pergi dengan teman-temannya. Ngotot untuk membantu pekerjaan rumah. Tidak pernah bisa berhenti memotong rumput di taman belakang. Harus dimarahi untuk tidak memanjat pohon. Harus dipaksa turun untuk tidak mengganti lampu sendiri. Kakek keras kepala luar biasa yang suka merasa masih berumur 41 tahun. Kakek super cerdas (you can see his head if you don’t believe me) yang membaca koran (dan jangan salah, rumah gue langganan koran dengan judul sebagai berikut; Kompas, Seputar Indonesia, Kontan harian, Koran Cina yang penuh tulisan mandarin keriting itu, serta tabloid Bola khusus Akong) setiap hari dan menonton berita trilingual setiap hari (Indonesia, Mandarin, Inggris) karena dia menguasai tiga bahasa itu dengan fasih dan beberapa bahasa suku cina lainnya dengan fasih juga serta sedikit bahasa sisa penjajahan Belanda dan Jepang, serta hapal seluruh jadwal pertandingan bola lengkap dengan bet-nya.
That’s my Grandpa from my mother side (I’ve never met my Grandpa and Grandma from my Father’s side). Terkadang saking sehat dan normalnya dia, kami suka lupa bahwa dia sudah berumur 82 tahun. Kami sering menganggap bahwa dia akan hidup selamanya. Kami sering menormalkan dia padahal seharusnya kami tetap ingat bahwa dia sudah berumur 82 tahun. Bukannya dia akan menerima perlakuan normal tersebut, Akong paling benci kalau dianggap tua dan tidak bisa apa-apa. Mungkin itu alasan dia begitu aktif setiap harinya. Bersyukur juga bahwa dia begitu aktif karena keaktifannya membantu otaknya sehingga dia tidak terserang pikun atau penyakit gawat lainnya. Akan tetapi tetap saja, Akong sudah tua dan sudah seharusnya kami ingat dan sadar akan hal tersebut sebagai orang yang setiap hari menghabiskan waktu bersama dengan dia di rumah.
Di keluarga besar kami, Akong termasuk salah satu yang paling tua. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara yang sekarang hanya tinggal berenam saja. Akong sudah menyaksikan kematian adik kandungnya yang (jelas) lebih muda dari dia, meninggal begitu saja tanpa ada penyakit apapun. Akong yang merupakan anak tertua dari garis keturunan marganya yang sampai sekarang belum memiliki penerus marga di generasi ketiga (generasi angkatan gue, karena Akong generasi 1, angkatan Mami generasi 2, dan angkatan gue generasi 3) kecuali semuanya lancar dan Soi Kim melahirkan anak ketiganya dalam 1-2 bulan ini (yang sudah diperiksa dan adalah laki-laki). Untung gue cewek, jadi ga harus ikut terlibat dalam urusan marga ato apalah itu. Akong juga belum memiliki Granddaughter-in-law atau Grandson-in-law serta cicit. Beberapa saudaranya sudah memiliki itu, akan tetapi Akong belum. Lagipula, kalau melihat urutannya, berarti dua hal tersebut akan didapatkan kalau Koko (yang sepertinya belum punya pacar serius) menikah atau gue menikah (yang waktu itu diramalkan akan segera menikah mendahului Koko. Ngawur, mau nikah sama siapa coba?). Sisanya masih terlalu kecil dan gak mungkin menikah segera.
Akong yang memiliki puluhan teman dari yang lebih tua, seumur, sampai yang lebih muda dari dia. Setiap tahun dia selalu mengantarkan kepergian temannya, termasuk yang lebih muda sekalipun. Setiap kali hal tersebut terjadi, Akong akan terlihat seperti layaknya orang yang kehilangan untuk beberapa hari. Dia akan pulih lagi nantinya, dan semakin menyadarkan kami, bahwa Akong sudah tua, dan entah berapa lama lagi dia bisa berada di tengah kami. Pernah suatu hari Akong jatuh sakit, dan kami semua panik, seperti menyadarkan kepada semua orang, apa yang sudah lo lakuin buat Akong? Serangan penyakit gawat, kepada siapapun di keluarga kita, seperti memberi tamparan untuk menyadarkan bahwa manusia tidak akan hidup selamanya. Nobody live forever, and have you ever pay your debt to anyone beside you? Seperti memberikan kesadaran bahwa bagaimanapun juga, jika manusia sudah meninggal, maka terlambatlah bagi kita untuk menangis dan menyesal. Do all the best you can for anybody when you can, don’t wait till late.
Anyway, kembali ke Akong. Terhadap kami keluarganya, Akong jarang menceritakan mengenai kisah masa lalunya. Dia akan menceritakannya pada saat yang tak terduga. Beberapa kenangan gue tentang saat Akong bercerita antara lain ketika gue lagi asyik ngerjain tugas gambar waktu SMA. Akong masuk ke kamar dan melihat pekerjaan gue dan mulai menceritakan bahwa dia tidak bisa menggambar (sepertinya bakat gambar di keluarga menurun dari Ama, nenek dari pihak Mami, karena Akong betul-betul tidak bisa menggambar) dan bahwa dulu kalau ada tugas menggambar dia akan meminta (kata Mami sih memaksa) temannya untuk membuatkan tugas itu. Really bad boy when you were young, huh, Grandpa? I hear some fishy stories about you, why you’ve never told us about that?
Cerita Akong berikutnya dilakukan belum lama ketika gue sedang berdua di rumah sama dia. Mendadak dia menceritakan mengenai masa mudanya di tengah-tengah penjajahan Belanda-Jepang. Bahwa betapa susahnya hidup saat itu, selain tidak adanya teknologi yang terus membantu kita, manusia, di jaman sekarang, tetapi juga susahnya mempertahankan kehidupan sehari-hari dikarenakan tegangnya keadaan masa penjajahan. Bahwa dia harus menempuh perjalanan di sungai, mendayung sendiri, selama lima jam untuk berkunjung ke rumah saudaranya. Bahwa semua makanan yang akan dimakan harus ditanam sendiri. Betapa nasi yang mereka makan bukanlah nasi full seperti saat ini, terkadang dicampur dengan umbi atau pisang (yeah, pisang as in banana). Betapa sayur ini membutuhkan waktu segini lama untuk tumbuh dan sayur itu membutuhkan waktu segitu untuk tumbuh. We should really grateful for the life we have now, shouldn’t we?
Tumben Akong menceritakan mengenai kehidupannya, terkadang gue sering kangen mendengar ceritanya yang jarang-jarang itu. Mungkin dia menceritakan ini karena sepertinya dia bosan setiap hari sendirian dirumah ditemani oleh ketiga anjing gue, secara semua orang rumah gue sibuk bersekolah, berkuliah, dan bekerja. People could really feel lonely in unexpected times, no matter how independent those people are. Mendengar cerita Akong, lagi-lagi bersyukur bahwa hidup kita saat ini begitu mudah. Juga bersyukur bahwa Akong masih ada disini, di tengah-tengah kami, tetap sehat dan ceria. Bersyukur bahwa kami masih diberikan kesempatan untuk membalas semua budinya, bahwa kami masih bisa menikmati keberadaannya.
I know you won’t live forever, Grandpa, but I do wish you a long long life. If that’s not too much, at least till you get some grand-grand-child to hold in your hand. We do love you, Grandpa :)
April 15, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment