Juli adalah bulan dimana gue dapet kesempatan buat ngalamin apa yang namanya kenangan masa lalu. Lucunya, apa yang ada di benak gue ternyata bisa sama bisa beda sama apa yang ada di realitas. Mungkin kenangannya salah atau emang kondisinya berubah tapi jelas kenangan bisa beda dengan kenyataan. Contohnya banyak, tapi kejadian signifikannya ada dua, dan kebetulan keduanya terjadi di bulan Juli ini. Satu adalah PRJ. Satu lagi adalah Pantai Mutiara.
Pertama adalah PRJ, atau Pekan Raya Jakarta yang selalu digembor-gemborkan sebaga suatu pesta rakyat secara besar-besaran. Tempatnya selalu sama dan tanggalnya juga selalu hamper sama tahun ke tahun, di Kemayoran selama sebulan dari Juni sampai Juli. Iseng aja mendadak berniat kesana, sekedar rasa ingin tahu buat liat udah kayak apa sih PRJ tahun ini. Di benak gue, PRJ selalu rame, stand ada dimana-mana, banyak SPG berkeliaran, banyak anak kecil dibawa serta, banyak kerak telor, dan banyak benda aneh yang bisa dilihat. Ternyata entah memang PRJ tidak berubah atau bagaimana tapi ingatan gue persis sama, bahwa PRJ lumayan mengerikan buat gue.
Karena PRJ memang cuma boleh didatangi sekali dalam setahun saja. Karena orangnya ternyata banyak sekali, sepertinya semua penduduk Jakarta tumpah disana. Buat dapet parkir aja udah ngabisin setengah hari sendiri. Dan jelas, PRJ bukan tempat yang cocok buat bersanai, karena semuanya serba bergerak dalam kecepatan dan kerumunan yang mengerikan. Rasa-rasanya sudah lama sekali tidak berdesak-desakan dengan berbagai macam manusia. Kenangannya sama, cuma elemennya yang berbeda. Kesannya sama, tapi entah iseng atau gue lupa dengan memori tentang PRJ itu sendiri, atau mungkin malah harapan siapa tahu PRJ berubah, yang jelas semuanya nyaris sama persis di benak gue.
Menyesal? Tentu tidak. Suasana mengerikan penuh sesak itu punya charm-nya sendiri. Dari sana kita bisa melihat kultur budaya Jakarta walau tidak total, tapi at least kita bisa mengintip sebagian nyawa Jakarta. Tapi jujur kalau disuruh kesana lebih dari sekali dalam setahun sih enggak deh, makasih banyak. Dan lagipula justru ternyata di tempat semacam inilah bisa terbentuk kenangan baru dari persepsi dan emosi yang tertinggal di benak.
Kedua adalah Pantai Mutiara. Suatu hari, kami memutuskan berjalan-jalan ke pantai. Dan pilihan kami jatuh pada Pantai Mutiara yang katanya lumayan buat berjalan-jalan santai. Gue kesini dengan berbekal ingatan masa kecil, mungkin masa-masa TK. Dulu ayahanda dan ibunda sering membawa gue dan adik tengah (karena adik bungsu belum lahir) untuk berjalan-jalan disana. Bahkan si adik tengah sepertinya sering latihan jalan disana. Maklum, dulu rumah kami tinggal dekat dengan pantai ini.
Di ingatan gue, pantai ini lumayan besar, masih kasar (maksudnya seperti pantai di Anyer yang dibiarkan seperti alam bebas), banyak tumbuhan entah kelapa atau bakau di sepanjang garis pantainya. Lalu banyak deretan rumah-rumah besar yang memarkir speedboard atau jetski dihalaman pantainya. Pemandangan yang cukup ofensif, tapi mengingat mereka selalu kebanjian di musim tertentu, fair enough buat ukuran duniawi (walau kabarnya rumah-rumah besar ini hanya merupakan semacam vila saja jadi harusnya banjir setahun sekali tidak memberikan dampak apapun buat mereka). Dan yang paling jelas di ingatan, yaitu adanya pasir pantai yang bisa untuk bermain.
Masih misteri sampai detik ini entah ingatan gue salah total atau memang demografi Pantai Muiara berubah wujud. Yang jelas pantainya tak seperti bayangan gue. Ada sih pohon entah kelapa atau palem yang ada di pinggirnya. Dan rumah-rumah ofensif masih berdiri disana dengan angkuh, bertambah banyak malahan. Lalu ada apartemen atau condominium atau gedung apalah itu yang mencolok sekali baik tinggi, bentuk, maupun pantulan kacanya disana. Masih banyak orang berjalan-jalan dengan sepeda atau kaki. Ada beberapa yang piknik atau duduk-duduk di tepi pantai sambil mengobrol. Banyak deretan mobil diparkir di tepi jalan sementara tuannya turun berjalan-jalan santai. Ada fotografer entah betulan atau jejadian bersama sepasang wanita yang entah model betulan atau jejadian mengambil shoot disana. Ada beberapa keluarga membawa jalan anjing mereka yang kecil berbulu bahkan sampai besar tak berbulu.
Tapi tidak ada pasir, seenggaknya pasir yang bisa digunakan untuk bermain. Tidak ada pantai dimana kita bisa bermain pasir. Tidak ada suasana alam bebas lagi. Semuanya rapi seperti layaknya perumahan biasa, baik jalanannya, susunan rumahnya, tepi pantainya, dan suasananya.
Kecewa? Tidak juga. Air di pantai lumayan jernih dan kebetulan hari itu matahari lumayan muncul dibandingkan hari lainnya yang selalu saja mendung. Dan akhirnya hari ini gue paham kenapa pantainya dinamakan Pantai Mutiara. Pantulan matahari terbenam di permukaan air dari batas cakrawala yang memanjang sampai ke titik tertentu menonjolkan buih air yang berkilauan seperti mutiara. Ahhh, it was our first sunset and it was memorable. Walau ingatan ternyata menipu dan pantainya bukan pantai betulan dimana kita bisa bermain pasir, sekali lagi gue diingatkan bahwa memori itu hanya dibangun dari kenangan tentang emosi yang tertinggal di pikiran saja.
Living our memories, sometimes vivid, sometimes blurry. It can be right or it can be wrong. We would never understand the right part or the wrong part, because it’s just a memory.
September 16, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
eh gw baru baca post yg ini nih.. gw blom pernah ke pantai mutiara loh, ke pantainya bener2.. cm pernah ke resto deket situ aja, itupun udah malem jadi ga keliatan view apa2 hehe.. jadi ingin kesana nih.. anw, gw suka kesimpulan lo,
"Living our memories, sometimes vivid, sometimes blurry. It can be right or it can be wrong. We would never understand the right part or the wrong part, because it’s just a memory."
Post a Comment