Sekitar tiga minggu lalu, gue ikut study tour 'Naar Boven Bandung 2010' yang diadakan berdasarkan kolaborasi antara DKV-DI, khusus DI diurus oleh HMDI sekalian untuk kebersamaan angkatan 2009. Sedikit melenceng dari topik, duhhh enak yaaa jaman sekarang, mahasiswa baru disediain study tour. Jaman gue mah boro-boro diadain gituan. Kasian deh angkatan tua...
Nah, balik ke topik semula. Salah satu acara suguhan study tour ini adalah kunjungan ke Saung Angklung Udjo, gue yakin pasti sebagian udah pada tau soal tempat ini. Gue sih jujur aja selama ini selalu cuma denger aja nama tempat ini, ga pernah beneran dateng kesana. Jadi kunjungan pertama ini, bagi gue yang awam sama sekali, menurut gue sangat berkesan.
Alasannya, pertama, waktu denger nama Saung Angklung, yang muncul di benak adalah tempat belajar angklung atau galeri angklung, ya ga salah juga sih karena dia emang ada sekolahnya. Kenyataannya, saung ini menyuguhkan pertunjukan kecil-kecilan sebagai wujud penyosialisasian dan pemahaman apresiasi masyarakat terhadap Alunan Rumpun Bambu, khususnya angklung.
Kedua, waktu tau kalau disini kami bakal nonton pertunjukan, yang bikin terkejut adalah lamanya pertunjukan. Konon katanya lamanya 2 jam lebih, dan beberapa orang bilang kalau pertunjukannya membosankan. Disinilah kami harus belajar untuk tidak menerima mentah-mentah informasi yang disuguhkan orang lain ke kami supaya tidak terbentuk paradigma awal dalam benak kami akan suatu hal sebelum kami mengalaminya sendiri, karena buktinya, pertunjukan Saung Angklung Udjo sangat jauh dari membosankan. Gue ngomong gitu bukan karena promosi atau gimana ya (ga ada untungnya sama sekali buat gue promosi tempat ini lagian).
Ketiga, baru kali ini takjub kepada ide seseorang yang begitu mengapresiasikan budaya lokal-tradisional dan mencoba mengenalkan budaya itu ke kami, kaum awam ini. Sistem pertunjukan Saung Angklung Udjo uniknya sangat jauh dari kesan monolog. Sebaliknya malah, pertunjukannya menggunakan sistem dialog antara penonton dan pelakonnya. Ini adalah pengalaman 2 jam untuk memahami adanya Unity in Diversity diiringi lantunan Alunan Rumpun Bambu.
Awal tiba di lokasi Saung Angklung Udjo, jam menunjukkan pukul 3 sore, cuaca mendung rintik-rintik. Kondisi badan cukup lelah akibat kegiatan non-stop dari subuh bangun untuk bersiap-siap - berangkat ke meeting point di kampus - persiapan kecil-kecilan - perjalanan ke bandung dengan bus rombongan - tiba di bandung dan langsung beraktivitas di salah satu galeri patung terkemuka untuk mengikuti workshop - lanjut perjalanan ke Saung Angklung. Rasa lelah dan cuaca awalnya jujur bikin gue ga antusias buat ngikutin acara ini. Males banget nonton pertunjukan angklung, yang katanya membosankan, selama 2 jam.
Tiba disana, kami disambut deretan usher wanita berkebaya yang membagikan pamflet, souvenir berupa kalung berbandul angklung, dan first drink. Lalu kami digiring masuk ke area penjualan souvenir (yah, seperti semua layaknya tempat wisata lainnya yang menyediakan arena souvenir) yang menjual berbagai benda kerajinan tangan tradisional. Kami diminta berkeliling sebentar untuk menunggu bubarnya rombongan sebelumnya dari area pertunjukan (ya, area, bukan ruang).
Sekitar 20 menit kemudian, kami dibawa ke area pertunjukan yang merupakan area terbuka seperti gazebo besar berbentuk bulat yang memiliki panggung di satu sisi dan area duduk berundak disisi sisanya. Area tengah dibiarkan kosong seperti arena gladiator jaman dahulu. Sambil duduk menunggu tempat terisi, iseng-iseng memandangi penonton lain di sekeliling. Wah ternyata gue kalah sama bule mancanegara. Ada cukup banyak penonton bule (dan non-rombongan pastinya karena duduknya terpisah-pisah) yang datang sendiri atau berkelompok atau dengan keluarganya yang dengan antusias menunggu mulainya pertunjukan.
Pertunjukan dipandu oleh seorang MC wanita berkebaya berpenampilan menarik, yang lucunya membawakan acara ini dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Sekali lagi kekaguman muncul, wah, pertunjukan angklung aja bilingual loh. Bahkan setelah mengamati lebih lanjut, bahkan pamphlet yang dibagikan di awal ternyata disediakan dalam dua versi bahasa. Untuk turis mancanegara diberikan versi bahasa Inggris.
Para pelakon dalam acara ini beragam dari 2 tahun sampai 15 tahun. Awal-awalnya berkesan seperti pertunjukan angklung biasa, ada pelakon di panggung dan arena, dan kami murni menjadi penonton. Lalu perlahan-lahan sistem berganti sedikit2 menjadi sebuah dialog. Urutan acara antara lain Demonstrasi Wayang Golek, Helaran, Tari Tradisional, Calung, Arumba, Angklung Mini, Angklung Padaeng, Bermain Angklung Bersama, Angklung Orkestra, Angklung Jaipong, dan Menari Bersama.
Demonstrasi Wayang Golek merupakan pementasan singkat dan peragaan dari wayang golek yang sebenarnya. Helaran adalah pertunjukan yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara tradisonal khitanan maupun upacara panen padi. Tarian dimainkan oleh anak-anak beragam usia dengan seorang anak yang paling kecil didudukkan di tandu kecil dan diarak berkeliling. Tari tradisional mementaskan Tari Topeng dan Tari Merak. Calung adalah pertunjukan instrumen yang terbuat dari bambu, dimainkan oleh 4-5 orang. Arumba (Alunan Rumpun Bambu) juga merupakan instrumen tradisional yang bertangga nada diatonis. Angklung Mini digunakan untuk menyanyikan lagu-lagu sederhana, disinilah para pelakon mengajak penonton untuk ikut menyanyikan lagu yang popular di berbagai Negara seperti The Song of Do Re Mi dan lainnya. Lalu ada pertunjukan Angklung Padaeng yang menggunakan laras nada diatonis. Selanjutnya Bermain Angklung Bersama, bagian menarik dimana pelakon mengajak penonton untuk ikut mempelajari angklung. Caranya adalah para pelakon membagikan satu piece angklung, yang hanya memiliki satu nada, kepada setiap penonton. Tentunya nada yang dibagikan berbeda-beda untuk setiap orang. Kemudian mengajak penonton membunyikan angklung tersebut pada saat yang tepat untuk membentuk alunan irama lagu sehingga seluruh penonton ikut terlibat dalam satu orkestra masal. Setelah itu dilanjutkan dengan Angklung Orkestra yang dimainkan oleh siswa yang lebih besar, disambung dengan Angklung Jaipong. Acara terakhir adalah acara Menari Bersama yang dipandu oleh para pelakon pertunjukan dengan mengajak sebagian penonton untuk ikut turun ke arena pertunjukan dan menari bersama untuk memberikan perasaan riang dan akrab.
Setelah menonton pertunjukan ini baru terasa bahwa musik memang bahasa universal yang bisa dipahami oleh siapapun yang mendengarnya. Teknik pertunjukan Saung Angklung Udjo mengajarkan bagaimana angklung, sebuah alat musik tradisional yang jarang diperhatikan, sebenarnya dapat mengajarkan sesuatu yang luar biasa, yaitu Unity in Diversity. Satu pecahan angklung yang hanya memiliki satu nada mungkin tidak akan memberikan kesan khusus, akan tetapi kumpulan pecahan angklung yang memiliki nada yang berbeda-beda dapat membentuk suatu orkestra Alunan Rumpun Bambu yang luar biasa. Apalagi dalam pertunjukan ini para pelakon mengajak penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan memakai berbagai bahasa untuk bergabung memainkan nada yang familiar untuk membentuk suatu bahasa musik universal.
Saung Angklung Udjo memiliki ide luar biasa untuk mengenalkan budaya tradisional yang sudah selayaknya diapresiasikan oleh kami semua. Salut untuk Saung Angklung Udjo, semoga kelak dapat terus berkarya untuk mengenalkan budaya bangsa Indonesia yang sering terlupakan dan mengemasnya dengan ide-ide baru yang orisinil.
Cheers :)
PS. Seluruh data diambil dari Sinopsis Pertunjukan Bambu Petang.
Seluruh gambar diambil dari website official Saung Angklung Udjo.
Website: www.angklung-udjo.co.id
March 31, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment